Kabupaten Buton Tengah atau disingkat Buteng merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kotanya berada di Labungkari, kecamatan Lakudo. Buton Tengah merupakan hasil pemerkaran dari Kabupaten Buton yang disahkan pada pertengahan tahun 2014 bersama Kabupaten Buton Selatan dan Kabupaten Muna Barat. Ketiga daerah otonomi baru tersebut disahkan menjelang akhir kepengurusan DPR RI periode 2009-2014.
Salah satu alasan pemekaran wilayah ini adalah karena permasalahan akses. Seluruh wilayah Buton Tengah tidak berada di Pulau Buton melainkan di Pulau Muna, sedangkan ibu kota Kabupaten Buton berada di Pasarwajo. Pelayanan dan kontrol membutuhkan biaya dan waktu yang panjang karena harus melewati laut menuju Kota Baubau, lalu dilanjutkan perjalanan darat menuju Pasarwajo di ujung timur Pulau Buton.
Daerah Buton Tengah merupakan bekas wilayah Kerajaan dan Kesultanan Buton yang telah eksis sejak zaman dulu. Pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6 dan juga Sultan Buton ke-1 bernama Murhum, rakyat Gu dan Mawasangka diriwayatkan patuh dan setia kepadanya. Ikatan emosional Gu dan Mawasangaka terhadap Buton semakin kuat setelah Murhum berhasil membela negeri mereka. Ketika kembali ke Buton, Murhum turut membawa “syara-pancana” dan kemudian Gu dan Mawasangka diberinya nama “Paincana” selaku tanda kemenangan Murhum. Nama ini kemudian lekat untuk menggambarkan kedua etnis di Buton Tengah tersebut dengan sebutan pancana atau pancano.
Keberadaan Buton Tengah juga tertuang pada Undang-Undang Murtabat Tujuh (sekitar tahun 1610), yakni undang-undang Kesultanan Buton pada masa Sultan Buton ke-4, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin). Disebutkan bahwa Kesultanan Buton terdiri atas 72 kadie yang diduduki oleh 30 menteri dan 40 bobato. Sedangkan sisanya menandakan kaum yang memegang pemerintahan di pusat. Dari 70 bagian tersebut dibagi lagi menjadi dua bagian besar yakni Pale Matanayo dan Pale Sukanayo. Lakina Lakudo, mengepalai wilayah Kadolo, Lawa, Tangana-lipu, Tongkuno, Gu, Wongko Lakudo, dan Wanepa-nepa (Distrik Gu). Lakina Bombonawulu menduduki wilayah Bombonawulu-kota, Rahia, Wakea-kea, Uncume, Wongko-bombonawulu (Distrik Gu). Kedua lakina tersebut merupakan kadie di wilayah Pale Matanayo.
Di wilayah Pale Sukanayo, Menteri Peropa mengepalai beberapa wilayah salah satunya Ballo di Distrik Kabaena (termasuk wilayah Talaga saat ini), Menteri Gundu-Gundu mengepalai Kooe dan Kantolobea (Distrik Mawasangka), Menteri Melai mengepalai Boneoge (Distrik Gu), Menteri Lanto di Lalibo (Distrik Mawasangka), Menteri Wajo di Wajo (Distrik Gu), Menteri Tanailandu di Wasindoii (Distrik Mawasangka). Selanjutnya Lakina Boneoge di Boneoge, Madongka, Tanga, dan Matanayo (Distrik Gu), Lakina Baruta di Baruta (Distrik Gu), Lakina Mone di Lambale dan Wakuru (Distrik Gu), Lakina Lolibu di Lipumalangan II dan Tongkuno (Distrik Gu), dan Lakina Inulu di Lamena, Lagili, dan Wakengku (Distrik Mawasangka) . Dalam undang-undang kesultanan juga disebutkan Tamburu Limaanguana. Tamburu Limaanguana yaitu pasukan kehormatan sultan yang terdiri atas lima kelompok yang masing-masing kelompok memiliki nama sendiri-sendiri, salah satunya Mawasangka.
Berikut adalah daftar Bupati Buton Tengah secara definitif sejak tahun 2017 pasca pemekaran Kabupaten Buton Tengah dari Kabupaten Buton.
Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kabupaten Buton Tengah sejak pembentukannya pada tahun 2014.
Kabupaten Buton Tengah terdiri dari 7 kecamatan, 10 kelurahan dan 67 desa dengan luas wilayah 958,31 km² dan jumlah penduduk sebesar 115.121 jiwa (2017) dengan sebaran penduduk 120 jiwa/km².
Dari setiap warna memiliki arti yang berbeda. Biru melambangkan kewibawaan, kemenangan dan masa depan yang cerah. Putih sebagai tanda kesucian hati, niat yang tulus dan rasa keadilan. Kuning tanda semangat kerja, belajar, berusaha, dan kemapanan. Hijau bermakna kemakmuran dan semangat religius. Hitam bertanda loyalitas, pengayom dan demokratis, serta merah wujud keberanian, rela berkorban, dan semangat kepahlawanan.
Unsur-unsur lambang seperti bentuk perisai berupa jao-jaonga sebagai bingkai lambang merefleksikan daya tahan, keteguhan, keamanan, dan ketentraman masyarakat Buteng. Laut bermakna karakteristik masyarakat Buteng yang religius. Gunung mencerminkan kondisi geografis wilayah Buteng, sekaligus melambangkan tekad, kegigihan dan keuletan masyarakat.
Sedangkan jarum menunjukkan Buteng secara historis sebagai salah satu daerah basis pertahanan (Matana Surumba) pada masa Kesultanan Buton. Makna benteng bahwa daerah Buteng bagian dari wilayah dan budaya Buton. Lalu 5 undakan pada benteng bahwa pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup masyarakat. Pintu gerbang pada benteng berjumlah 7 merupakan lambang 7 kecamatan yang menjadi cikal bakal hingga terbentuknya Buteng . Perahu layar dan gelombang sebagai dinamika dan spirit kemaritiman yang menjadi karakter masyarakat. Sedangkan ikan dan jambu mete pada perahu layar menandakan hasil alam yang potensial di Buteng. Padi dan kapas, melambangkan cita-cita kesejahteraan. Buku dan pena, merefleksikan kecintaan masyarakat dan keadilan yang ingin diwujudkan pada seluruh lapisan masyarakat Buteng.
Lalu, jumlah 24 bulir padi dan jumlah 7 bunga kapas melambangkan tanggal dan bulan terbentuknya Buton pada 24 Juli 2014 Makna adanya frasa Kabupaten Buteng dalam pita putih sebagai Buteng merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Sebagaimana halnya wilayah-wilayah lain bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton, etnis di Buton Tengah juga beragam. Sampai saat ini para ahli belum mendapatkan kesepakatan berapa banyak sesungguhnya etnis yang ada di Buton. Namun jika melihat kelompok besarnya, di Buton Tengah didiami oleh penduduk dari etnis Buton-Gulamasta (Pancana), Moronene-Kabaena, Bajo, Muna, dan Wolio. Umumnya masyarakat Buton Tengah memeluk agama Islam, yakni 98,24%, dan selebihnya beragama Kristen yakni 1,76%.
Masyarakat Buton Tengah berprofesi sebagai petani, nelayan, pelaut, pedagang, dan sebagian kecil bekerja di sektor pertambangan.
Wilayah Kabupaten Buton Tengah sangat berpotensi untuk dikembangkan padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, dan kacang hijau. Padi ladang merupakan komoditas yang dapat diandalkan seperti di Kecamatan Mawasangka dengan area panen 10 Ha dengan total produksi ± 9 ton padi ladang. Kemudian di Kecamatan Gu 2.679 Ha dengan total produksi ± 537 ton jagung. Di Kecamatan Gu juga memiliki luas area pertanian singkong dengan luas area 2.679 Ha dengan total produksi ± 11.258 ton, perkebunan kapuk 56,35 Ha dengan total produksi mencapai ± 480 ton, dan perkebunan kakao seluas 32 Ha dengan total produksi mencapai ± 390 ton. Selain itu komoditas mete kualitas ekspor di Lombe telah lama mendunia. Pohon palm agel juga banyak ditemukan di Buton Tengah sebagai salah satu bahan baku kerajinan anyaman.
Potensi laut yang dapat dimanfaatkan yaitu perikanan dan budidaya rumput laut yang produksinya mencapai ± 13.966,34 ton.
Secara kualitatif komoditas-komoditas potensial diperdagangkan antar pulau melalui tiga pelabuhan laut utama di Buton Tengah.
Dari sektor pariwisata, beberapa objek wisata baik wisata alam, sejarah maupun budaya menjadi daya tarik tersendiri. Wisata sejarah terdapat berbagai benteng peninggalan kesultanan Buton, seperti Benteng Kota Bombonawulu, Benteng Wasilomata, Benteng Gumanano dan lain sebagainya. Wisata alam di daerah ini bisa ditemui berbagai pantai berpasir putih, seperti Pantai Mutiara, Pantai Katembe, Pantai Lamena, dan masih banyak lagi.
Salah satu pantai terkenal di daerah ini yakni Pantai Mutiara yang berada di desa Gumanano, kecamatan Mawasangka. Untuk wisata budaya kita dapat menemukan kampung yang memegang teguh budayanya yakni kampung wasilomata yang berada di Kecamatan Mawasangka. Hampir seluruh rumah didaerah ini memiliki bentuk yang nyaris serupa.
Kabupaten Buton Tengah menjadi salah satu daerah pengubung antara Kota Baubau, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Bombana. Kabupaten Buton Tengah dapat diakses dengan cara:
Peta KAB. BUTON TENGAH, SULAWESI TENGGARA