Kota Sawahlunto adalah salah satu kota yang berada di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota yang terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang ini, dikelilingi oleh tiga kabupaten di Sumatera Barat, yaitu kabupaten Tanah Datar, kabupaten Solok, dan kabupaten Sijunjung. Kota Sawahlunto memiliki luas 273,45 km² yang terdiri dari empat kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 66.962 jiwa (2021). Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara. Kota ini sempat mati, setelah penambangan batu bara dihentikan.
Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat dalam rangka mendorong pariwisata dan mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya".
Cikal bakal dijadikannya Sawahlunto sebagai kota terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedalaman Minangkabau (saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang), sebagaimana yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penelitian pertama dilakukan oleh Ir. C. De Groot van Embden pada tahun 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867. Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Selanjutnya Sawahlunto juga dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.
Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892. Seiring dengan itu, kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang, dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang. Sampai tahun 1898, usaha tambang di Sawahlunto masih mengandalkan narapidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Pada tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto. Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894, sehingga sejak angkutan kereta api mulai dioperasikan produksi batu bara di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun.
Bentang alam kota Sawahlunto memiliki ketinggian yang sangat bervariasi, yaitu antara 250 meter sampai 650 meter di atas permukaan laut. Bagian utara kota ini memiliki topografi yang relatif datar meski berada pada sebuah lembah, terutama daerah yang dilalui oleh Batang Lunto, di mana di sekitar sungai inilah dibentuknya pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum yang didirikan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Sementara itu bagian timur dan selatan kota ini relatif curam dengan kemiringan lebih dari 40%.
Kota Sawahlunto terletak di daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dan memiliki luas 273,45 km². Dari luas tersebut, lebih dari 26,5% atau sekitar 72,47 km² merupakan kawasan perbukitan yang ditutupi hutan lindung. Penggunaan tanah yang dominan di kota ini adalah perkebunan sekitar 34%, dan danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara sekitar 0,25%.
Seperti daerah lainnya di Sumatera Barat, kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan kisaran suhu minimun 22,5 °C dan maksimum 27,5 °C. Sepanjang tahun terdapat dua musim, yaitu musim hujan dari bulan November sampai Juni dan musim kemarau dari bulan Juli sampai Oktober. Tingkat curah hujan kota Sawahlunto mencapai rata-rata 1.071,6 mm per tahun dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Berikut adalah batas-batas administrasi Kota Sawahlunto menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1990 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sawahlunto, Kabupaten Daerah Tingkat II Sawahlunto/Sijunjung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Solok:
Sejak tahun 1918, Sawahlunto telah berstatus gemeente (kota). Namun belum sempat menjadi stadsgemeente walaupun hingga tahun 1930 telah memiliki penduduk yang banyak. Pada tanggal 10 Maret 1949, Sawahlunto bersama dengan wilayah kabupaten Solok, kota Solok, kabupaten Sijunjung, dan kabupaten Dharmasraya sekarang, ditetapkan menjadi Afdeeling Solok yang dipimpin oleh seorang bupati. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, status Sawahlunto kemudian berubah menjadi daerah tingkat II dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto dan mulai dipimpin oleh seorang wali kota.
Terhitung mulai tanggal 11 Juni 1965, ditunjuklah Achmad Noerdin, S.H. sebagai wali kota Sawahlunto pertama yang memerintah hingga tahun 1971. Tidak lama kemudian terpilihlah Drs. Shaimoery, S.H. menjadi wali kota selanjutnya hingga tahun 1983, lalu digantikan oleh Drs. Nuraflis Salam dan Drs. H. Rahmatsjah yang masing-masing menjabat selama 5 tahun berikutnya. Pada tahun 1993, Drs. H. Subari Sukardi menjadi pemimpin kota ini selama dua periode hingga tahun 2003. Kemudian sejak tahun 2003, kota ini mulai dipimpin oleh Ir. H. Amran Nur yang juga memimpin selama dua periode hingga tahun 2013. Selanjutnya, Sawahlunto dipimpin oleh Ali Yusuf, S.Pt. hingga 2018. Sejak 17 September 2018 hingga saat ini, Deri Asta, S.H. memimpin Kota Sawahlunto.
Kota Sawahlunto memiliki 4 kecamatan, 10 kelurahan, dan 27 desa. Luas wilayahnya mencapai 231,93 km² dan penduduk 64.299 jiwa (2017) dengan sebaran 277 jiwa/km².
Jumlah penduduk kota Sawahlunto mengalami penurunan yang sangat tajam sejak merosotnya produksi batu bara di kota ini pada tahun 1940, dari 43.576 orang pada tahun 1930 menjadi 13.561 orang pada tahun 1980. Kemudian secara perlahan, jumlah penduduk kota ini meningkat pada tahun 1990, sejalan dengan kembali pulihnya produksi batu bara sejak tahun 1980.
Pada tahun 1990, wilayah administrasi kota Sawahlunto diperluas dari hanya 7,78 km² menjadi 273,45 km² dan membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Sehingga pada tahun 1995, jumlah penduduk kota Sawahlunto mencapai 55.090 orang. Namun pada tahun 2000, jumlah penduduk kota Sawahlunto menurun menjadi 50.668 orang, artinya selama lima tahun telah terjadi penurunan sekitar 8%. Hal ini disebabkan oleh sebagian perumahan pegawai PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin dipindahkan ke luar daerah kota Sawahlunto. Sehingga dari segi ini tampak kaitannya antara usaha pertambangan batu bara dengan jumlah penduduk kota Sawahlunto.
Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk kota Sawahlunto mengalami peningkatan, dari sebelumnya 54.310 orang pada tahun 2008 menjadi 56.812 orang. Kecamatan Talawi merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak, yaitu 17.676 orang atau sekitar 31,11% dari jumlah penduduk kota Sawahlunto. Kepadatan penduduk kota Sawahlunto pada tahun 2010 adalah 238 orang per km², di mana kecamatan Lembah Segar adalah kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya yaitu 431 orang per km². Sedangkan rasio jenis kelamin penduduk kota Sawahlunto adalah 98, yang artinya jumlah penduduk laki-laki 2% lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk perempuan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kompetensi siswa di kota Sawahlunto, salah satu program pemerintah setempat adalah dengan memberikan pelatihan bahasa Inggris sejak dini.
Di kota Sawahlunto berdiri Akademi Komunitas Negeri Kota Sawahlunto dan kampus jauh dari UNP. Sebagai kota tambang batubara, di kota Sawahlunto berdiri Balai Diklat Tambang Bawah Tanah yang berada di bawah Kementerian ESDM.
Mayoritas penduduk Kota Sawahlunto memeluk agama Islam. Kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau. Agama lain yang dianut di kota ini adalah Kristen, Hindu, dan Khonghucu, yang kebanyakan dianut oleh penduduk bukan dari suku Minangkabau. Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota ini. Selain didominasi oleh masjid, juga terdapat dua gereja di Kota Sawahlunto, yaitu Gereja Paroki Sawahlunto St. Barbara dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan(HKBP) Sawahlunto.
Penduduk kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh kelompok etnik Minangkabau dan Jawa. Etnik lain yang juga menjadi penghuni adalah Tionghoa dan Batak Toba. Sejak dijadikannya Sawahlunto sebagai kota tambang batu bara atau sejak didirikannya kota ini pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda mulai mengirim narapidana dari berbagai penjara di Indonesia ke kota Sawahlunto sebagai pekerja paksa, sehingga sekitar 20.000 narapidana telah dikapalkan ke Sawahlunto. Pekerja paksa inilah yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Orang Rantai.
Untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kota ini, pemerintah kota Sawahlunto telah membangun sebuah rumah sakit umum daerah tipe C. Selain itu sarana kesehatan lain yang tersedia di kota ini adalah puskesmas sebanyak 5 buah, puskesmas pembantu 20 buah, pos KB/Posyandu 37 buah, tempat praktik dokter 15 buah.
Semenjak tahun 2015 berdiri Lapas Narkoba Sawahlunto yang menampung seluruh narapidana kasus narkotika di Sumatera Barat. Lapas Narkoba Sawahlunto dapat menampung hingga 1.000 warga binaan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Sawahlunto merupakan kota dengan angka kemiskinan terendah di Indonesia . Sawahlunto juga termasuk kota dengan pendapatan per kapita kedua tertinggi di Sumatera Barat, di mana mata pencarian penduduk sebagian besar ditopang oleh sektor pertambangan dan jasa. Selain itu, sektor lain seperti pertanian dan peternakan juga masih diminati masyarakat. Bahkan beberapa kawasan sedang dikembangkan untuk menjadi daerah sentral industri kerajinan dan makanan kecil.
Selama seratus tahun lebih, batu bara telah dieksploitasi mencapai sekitar 30 juta ton, dan masih tersisa cadangan lebih dari 100 juta ton. Namun masa depan penambangan batu bara di kota Sawahlunto masih belum jelas, sebab cadangan yang tersisa hanya bisa dieksploitasi sebagai tambang dalam. Sedangkan dapat tidaknya eksploitasi tersebut sangat bergantung kepada penguasaan teknologi dan permintaan pasar. Selain itu, penyelenggaraan pertambangan batu bara juga sedang mengalami reorientsi oleh berkembangnya semangat desentralisasi atau tuntuntan otonomi daerah yang membangkitkan keinginan masyarakat setempat untuk melakukan penambangan sendiri.
Penemuan cadangan batu bara di kota Sawahlunto telah mendorong pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api menuju kota Padang dalam mendistribusikan batu bara. Pembangunan ini dimulai pada tahun 1889 dan selesai pada tahun 1896. Jalur kereta api ini selain menghubungkan kota Padang dengan kota Sawahlunto, juga mencapai kota-kota lain seperti kota Solok, kota Pariaman, kota Bukittinggi, kota Padang Panjang, dan kota Payakumbuh. Namun akibat menurunnya produksi batu bara sejak tahun 2000, kegiatan pengangkutan batu bara dengan kereta api berhenti total.
Jarak tempuh dari Kota Padang ke Kota Sawahlunto sekitar 95 km. Perjalanan dapat dilakukan dengan menggunakan bus maupun kendaraan pribadi. Dapat pula diakses dengan kereta api yang beroperasi pada hari tertentu dari kota Padang Panjang.
Objek wisata unggulan yang ada di kota ini adalah atraksi wisata tambang, di mana pengunjung dapat melakukan napak tilas pada areal bekas penambangan yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Kota Sawahlunto memiliki banyak bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian bangunan telah ditetapkan oleh pemerintah setempat sebagai cagar budaya dan objek wisata, salah satunya adalah Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Bangunan tua lainnya adalah Kantor PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin yang dibangun pada tahun 1916. Bangunan ini memiliki menara pada bagian tengah dan di sekitarnya terdapat taman yang dikenal sebagai Taman Segitiga.
Tidak jauh dari Taman Segitiga, terdapat Lubang Suro yang diambil dari nama seorang mandor pekerja paksa, Mbah Suro. bersebelahan dengan objek wisata Lubang Suro, didirikan Gedung Info Box yang menyediakan berbagai informasi dan dokumentasi tentang sejarah pertambangan batu bara di kota Sawahlunto.
Selain peninggalan bersejarah, dapur umum yang sebelumnya dapat memproduksi makanan setiap waktu untuk ribuan pekerja paksa dan stasiun kereta api sebagai tempat dilakukannya aktivitas pengangkutan batu bara dijadikan museum pada tahun 2005. Masing-masing dinamakan Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api Sawahlunto. Sedangkan bangunan pusat pembangkit listrik yang didirikan pada tahun 1894, sejak tahun 1952 dijadikan masjid dengan nama Masjid Agung Nurul Islam atau dikenal sebagai Masjid Agung Sawahlunto. Masjid ini memiliki satu kubah besar di tengah yang dikelilingi oleh empat kubah dengan ukuran yang lebih kecil, dan memiliki menara yang tingginya mencapai 80 meter.
Kegiatan tambang batu bara di kota Sawahlunto juga meninggalkan sejumlah bangunan lain seperti Silo. Silo berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke pelabuhan Teluk Bayur. Silo masih berdiri kokoh di tengah kota, kendati tidak berfungsi apa-apa. Selain itu, sirene pada Silo masih berbunyi setiap pukul 07.00, 13.00, dan 16.00 waktu setempat, di mana pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sirene di Silo ini menandakan jam kerja Orang Rantai atau narapidana yang dijadikan kuli pengambil batu bara.
Semenjak 2017, pemerintah membangun tiga museum baru, yaitu: Museum Budaya Sawahlunto, Museum Tari, dan Museum Lukisan dan Etno Kayu.
Kota ini juga memiliki objek wisata lain seperti kebun binatang yang memiliki luas sekitar 40 hektare dan Resort Wisata Kandi dengan luas 393,4 hektare. Ada 3 danau yang terbentuk dari bekas galian penambangan batu bara di Resort Wisata Kandi, yaitu Danau Kandi, Danau Tanah Hitam, dan Danau Tandikek. Selain itu, juga terdapat wahana rekreasi keluarga yang dikenal dengan nama Waterboom Sawahlunto.
Di kota ini terdapat lapangan pacuan kuda milik pemerintah setempat yang bernama Lapangan Pacuan Kuda Bukit Kandih. Setiap tahunnya diselenggarakan lomba pacuan kuda di lapangan ini. Lapangan pacuan kuda seluas 39.69 hektare tersebut memiliki track pacuan kuda sepanjang 1.400 meter dengan lebar 20 meter dan dapat menampung sekitar 30.000 penonton. Selain itu, kota ini juga memiliki arena road race seluas 10 hektare dengan track lintasan beraspal hotmix sepanjang 1,2 km dan telah berstandar nasional.
Kota Sawahlunto termasuk kota yang menjadi bagian dari tahapan perlombaan balap sepeda Tour de Singkarak. Pada Tour de Singkarak 2011, kereta uap wisata bertenaga batu bara yang oleh masyarakat setempat dinamai Mak Itam dipakai untuk membawa pembalap sepeda menuju lokasi start etape 5a di Silungkang. Dalam tiga kali penyelenggaraan ajang balap sepeda Tour de Singkarak, kota Padang selalu menjadi titik start pelombaan. Namun untuk tahun 2012 titik start lomba dipindahkan ke kota Sawahlunto, sedangkan Padang sebagai ibu kota Sumatera Barat dijadikan titik finish lomba.
PS Gunung Arang Sawahlunto adalah klub sepak bola yang bermain di Liga 3 yang bermarkas di kota ini.
Stasiun televisi milik pemerintah yang beroperasi di Kota Sawahlunto adalah TVRI Sumatera Barat. Selain itu ada stasiun televisi swasta yang beroperasi di Kota Sawahlunto antara lain:
Sawahlunto dikenal sebagai tempat lahir tokoh pers kenamaan nasional, Djamaluddin Adinegoro. Adinegoro merupakan saudara tokoh nasional, bapak soneta Indonesia, Muhammad Yamin. Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan museum jurnalistik dan kesusastraan bernama Museum Adinegoro di kota ini dalam kunjungannya pada Kamis, 8 Februari 2018.
Sawahlunto memiliki dua stasiun radio, SKA FM (sudah tidak aktif) dan Radio Pemda Sawahlunto FM di frekuensi FM 99,9 MHz.
Djohan Soetan Soelaiman dan Djohor Soetan Perpatih, bersaudara adalah saudagar besar Minangkabau pada paruh pertama abad ke-20 atau pada masa kolonial . Mereka memiliki Handelsvereeniging Djohan-Djohor (Perusahaan Dagang Djohan-Djohor) yang berbasis di Pasar Senen.
Mohammad Yamin, pahlawan nasional Indonesia berasal dari kota ini. Saudaranya, Djamaluddin Adinegoro merupakan tokoh pers nasional yang namanya dijadikan penghargaan penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik Indonesia, Hadiah Adinegoro. Tokoh pers lainnya asal Kota Sawahlunto adalah Ani Idrus, seorang wartawati senior.
Yunizar, salah satu pelukis kenamaan dunia berasal dari kota Sawahlunto. Yunizar bersama 20 perupa Indonesia lainnya masuk dalam daftar 500 pelukis terlaris di dunia berdasarkan Top 500 Artprice 2008/2009 yang disusun oleh sebuah lembaga analis pasar perkembangan pasar seni rupa dunia, Artprice, yang berbasis di Paris, Prancis.
Jusuf Wanandi, politikus senior adalah salah satu pendiri dan anggota Dewan Penyantun CSIS, Centre for Strategic and International Studies, sebuah lembaga pemikir yang berperan aktif melahirkan berbagai gagasan yang menjadi kebijakan pemerintah. Jusuf Wanandi pernah menjabat sebagai Anggota MPRS (1968-1972), Anggota MPR (1972-1977), Direktur Eksekutif CSIS (1986), dan Gubernur East-West Centre, Honolulu, Hawaii, AS.
Soedjatmoko, diplomat Indonesia yang pernah menjabat sebagai sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa di Tokyo, Jepang.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag yang berkaitan
Peta KOTA SAWAHLUNTO, SUMATERA BARAT