Kabupaten Banyuwangi (Hanacaraka: ꦧꦚꦸꦮꦔꦶ, Pegon: باۑوواڠي; pelafalan dalam bahasa Indonesia: ) adalah sebuah wilayah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kota dari kabupaten ini berada di Kecamatan Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa di Indonesia, tepatnya di kawasan Tapal Kuda, yang berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso di sebelah utara, Selat Bali dan Provinsi Bali di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di sebelah barat. Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur dan juga kabupaten terluas ketiga di Pulau Jawa.
Di pesisir Banyuwangi, terdapat Pelabuhan Ketapang, yang merupakan penghubung utama antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Masyarakat penghuni daerah ini adalah suku Jawa Osing atau Wong Blambangan. Pada pertengahan tahun 2023, jumlah penduduk Banyuwangi sebanyak 1.769.234 orang.
Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Kangjeng Suhunan Prabu Tawang Alun.
Sejak tahun 1743, secara administratif VOC telah menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar Perjanjian Ponorogo yang diantara isinya adalah penyerahan kekuasaan Kartasura di Jawa bagian timur (termasuk Blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Padahal Kartasura tidak pernah mewarisi Blambangan dari Kesultanan Mataram karena Kangjeng Suhunan Prabu Tawangalun telah menyatakan kemerdekaan Balambangan pada 23 Pebruari 1653 dan Mataram tidak pernah menundukkannya lagi hingga Mataram hancur akibat Perang Raden Trunajaya.
Pasca Perjanjian Ponorogo tahun 1743, VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaannya sampai pada akhir abad ke-17, ketika Perusahaan Hindia Timur Britania menjalin hubungan dagang dengan Blambangan..
VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaannya atas Blambangan pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767–1772) dan bahkan baru berakhir tahun 1777.
Dalam rangkaian peperangan itu terdapat beberapa pertempuran dahsyat yang salah satunya disebut Perang Puputan Bayu yang merupakan perlawanan rakyat Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC.
Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Sayangnya, perang ini tidak dikenal luas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kompeni Belanda.
Akhir dari perang ini, VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai Bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya Kerajaan Blambangan. Tetapi perlawanan sporadis rakyat Blambangan masih terjadi meskipun VOC sudah menguasai Blambangan. Itu bisa terlihat dengan tidak adanya pabrik gula yang dibangun oleh VOC saat itu, berbeda dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur.
Tokoh legenda yang terkenal adalah Putri Sri Tanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena dicurigai oleh suaminya telah selingkuh ketika dia ditinggal menuju medan perang. Dengan sumpah janjinya kepada sang suami sang putri berkata: "Jika darah yang mengalir di sungai ini amis memang Sri Tanjung selingkuh, tetapi jika berbau harum (wangi) maka Sri Tanjung tidak selingkuh". Dan ketika darah yang mengalir ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesallah sang suami yang dikenal sebagai Sidopekso ini.
Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo, seorang Adipati dari Blambangan yang memberontak terhadap Kerajaan Majapahit dan dapat ditumpas oleh utusan Majapahit, yaitu Damarwulan. Namun sesungguhnya nama Minak Djinggo tidak ada dalam daftar raja Balambangan menurut Babad Sembar sehingga dapat dipastikan bahwa kisah ini hanya legenda saja.
Julukan The Sunrise of Java disandang Kabupaten Banyuwangi tidak lain karena daerah yang pertama terkena sinar matahari terbit di Pulau Jawa.
Sejarah berdirinya Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan Blambangan, karena Blambangan merupakan cikal bakal dari Banyuwangi. Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Blambangan adalah kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan VOC serta Blambanganlah kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah Belanda di Pulau Jawa.
Salah satu keunikan Banyuwangi adalah penduduk yang multikultur, dibentuk oleh 3 elemen masyarakat yaitu Jawa Mataraman, Madura, dan Banyuwangen (kini lebih dikenal dengan Osing).
Suku Osing adalah penduduk asli Kabupaten Banyuwangi. Mereka mempunyai adat-istiadat, budaya maupun bahasa yang sedikit berbeda dari masyarakat Jawa umumnya.
Julukan Banyuwangi bumi santet terkenal sejak peristiwa memilukan ketika 100 orang lebih dibunuh secara misterius karena dituduh memiliki ilmu santet. Peristiwa ini dikenal luas oleh masyarakat sebagai “Tragedi Santet” Tahun 1998.
Banyuwangi dijuluki bumi banteng dikarenakan di Banyuwangi tepatnya di Taman Nasional Alas Purwo terdapat banyak banteng jawa.
Sejak dahulu Banyuwangi sangat dikenal sebagai penghasil pisang terbesar, bahkan tiap dipekarangan rumah warga selalu terdapat pohon pisang.
Berawal dari sukses penyelenggaraan kegiatan budaya Banyuwangi Ethno Carnival pertama pada tahun 2011 lalu, maka pada tahun-tahun berikutnya seakan tak terbendung lagi semangat dan kegairahan masyarakat Banyuwangi untuk mengangkat potensi dan budaya daerah melalui rangkaian kegiatan yang dikemas dalam tajuk Banyuwangi Festival.
Maka sejak 2012 acara Banyuwangi Ethno Carnival ditahbiskan menjadi agenda tahunan berbarengan dengan kegiatan lain, baik yang bersifat seni, budaya, fesyen, dan wisata olahraga.
Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak pada koordinat 7º45’15”–8º43’2” LS dan 113º38’10” BT.
Wilayah Banyuwangi cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Kawasan perbatasan dengan Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.344 m) dan Gunung Merapi (2.799 m). Di balik Gunung Merapi terdapat Gunung Ijen yang terkenal dengan kawahnya. Gunung Raung dan Gunung Ijen adalah gunung api aktif.
Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Di perbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan, merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Sukamade merupakan kawasan penangkaran penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai timur Banyuwangi yang menghadap ke Selat Bali merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di Jawa Timur. Tepatnya di Kecamatan Muncar yaitu pelabuhan perikanan Muncar.
Kabupaten Banyuwangi terletak di ketinggian 0–2.500 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan tingkat kelerengan, wilayah Kabupaten Banyuwangi terbagi dalam empat kategori tingkat kelerangan, yaitu tingkat kelerengan 0–2%, tingkat kelerengan 2–15%, tingkat kelerengan 15–40%, dan tingkat kelerengan >40%. Berikut adalah detailnya:
Beberapa sungai besar maupun kecil yang melintas Kabupaten Banyuwangi mulai dari bagian utara ke selatan sehingga merupakan daerah yang cocok pertanian lahan basah, yaitu meliputi :
Suhu udara di wilayah datara rendah berkisar antara 20°–34°C, sedangkan wilayah dataran tinggi bersuhu udara kurang dari 19°C. Tingkat kelembapan di Kabupaten Banyuwangi bervariasi antara 73–84%. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, hampir seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi masuk dalam kategori iklim tropis basah dan kering (Aw & Am) dengan dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau di wilayah Kabupaten Banyuwangi berlangsung pada periode Mei–Oktober dengan puncak musim kemarau adalah bulan Agustus. Sementara itu, musim hujan di wilayah Banyuwangi berlangsung pada periode November–April dengan bulan terbasah adalah bulan Januari dan Februari yang curah hujan bulanannya lebih dari 280 mm per bulan. Curah hujan tahunan di wilayah Banyuwangi berkisar antara 1.000–2.000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan bervariasi antara 80–150 hari hujan per tahun.
Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 25 kecamatan, 28 kelurahan, dan 189 desa (dari total 666 kecamatan, 777 kelurahan, dan 7.724 desa di Jawa Timur). Pada tahun 2021, luas wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah 3.593,06 km².
Ibu kota Kabupaten Banyuwangi berjarak 290 km sebelah timur Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Banyuwangi merupakan ujung paling timur jalur pantura serta titik paling timur jalur kereta api pulau Jawa yaitu Stasiun Ketapang.
Pelabuhan Ketapang terletak di Kota Banyuwangi bagian utara, menghubungkan Jawa dan Bali dengan kapal Ferry, LCM, roro dan tongkang.
Dari Surabaya, Kabupaten Banyuwangi dapat dicapai dari dua jalur jalan darat, jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara merupakan bagian dari jalur pantura yang membentang dari Anyer hingga pelabuhan Panarukan dan melewati Kabupaten Situbondo. Sedangkan jalur selatan merupakan pecahan dari jalur pantura dari Kabupaten Probolinggo melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember. Di kedua jalur tersebut tersedia bus ekonomi maupun non-ekonomi.
Terdapat pula moda transportasi darat lainnya, yaitu jalur kereta api lintas timur Jawa dan berakhir di Banyuwangi. Stasiun Banyuwangi Kota merupakan stasiun terdekat dengan Kota Banyuwangi. Stasiun Ketapang terletak di utara Kota Banyuwangi tidak jauh dari Pelabuhan Penyeberangan Ketapang. Stasiun kereta api yang cukup besar di Banyuwangi adalah Stasiun Ketapang, Banyuwangi Kota, Rogojampi, Stasiun Kalisetail, (Kecamatan Sempu), dan Kalibaru. Selain itu ada juga stasiun yang lebih kecil seperti Singojuruh, Temuguruh, Glenmore, Sumberwadung dan Halte Krikilan.
Untuk transportasi wilayah perkotaan terdapat moda angkutan mikrolet, taksi Bosowa, Ramayana, Using Transport serta van atau yang oleh masyarakat setempat disebut 'colt' yang melayani transportasi antar kecamatan dan minibus yang melayani trayek Banyuwangi dengan kota-kota kabupaten di sekitarnya.
Bandar Udara Internasional Banyuwangi di kecamatan Blimbingsari dalam pembangunannya sempat tersendat akibat kasus pembebasan lahan, dan memakan korban 2 bupati yang menjabat dalam masa pembangunannya yaitu Bupati Samsul Hadi (2000–2005) dan Bupati Ratna Ani Lestari (2005–2010). Dan pada tanggal 28 Desember 2010, Bandar Udara Blimbingsari telah dibuka untuk penerbangan komersial Banyuwangi (BWX) – Jakarta (CGK) – Banyuwangi (BWX) dan Banyuwangi (BWX) – Surabaya (SUB) – Banyuwangi (BWX).
Selain itu terdapat Pelabuhan Tanjung Wangi di Ketapang, Kecamatan Kalipuro selain sebagai pelabuhan bongkar muat barang dan peti kemas, juga melayani pelayaran ke kepulauan di bagian timur Madura, seperti Kep. Sapeken, Kep. Kangean, dan Kep. Sapudi.
Moda transportasi alternatif yang juga sudah diluncurkan berupa Kapal Cepat Marina Srikandi yang memiliki kapasitas hingga 145 orang penumpang. Kapal cepat ini beroperasi dari Pantai Boom Banyuwangi. Pengoperasian kapal ini didorong oleh pemikiran bahwa pertumbuhan pariwisata Banyuwangi juga ditopang oleh pertumbuhan pariwisata di Bali dan Lombok, sehingga perjalanan yang menghubungkan ketiganya harus terus ditingkatkan.
Penduduk Kabupaten Banyuwangi terdiri dari beragam suku. Mayoritas adalah suku Osing, namun terdapat suku Madura (kecamatan Muncar, Wongsorejo, Kalipuro, Glenmore dan Kalibaru) dan suku Jawa Mataraman dan suku Jawa Arekan yang cukup signifikan, serta terdapat minoritas suku Bali, dan suku Bugis. Suku Bali banyak mendiami desa di kecamatan Rogojampi, bahkan di desa Patoman, Kecamatan Rogojampi seperti miniatur desa Bali di Pulau Jawa. Suku Osing merupakan penduduk asli Kabupaten Banyuwangi dan bisa dianggap sebagai sebuah subsuku dari suku Jawa. Mereka menggunakan bahasa Osing, yang dikenal sebagai salah satu ragam tertua bahasa Jawa. Suku Osing mendiami di Kecamatan Banyuwangi, Giri, Glagah, Licin, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Srono, serta sebagian kecil di kecamatan lain.
Kabupaten Banyuwangi merupakan wilayah lintas pulau antara Pulau Jawa dan Pulau Bali, sehingga menjadi salah satu tempat pertemuan berbagai jenis kebudayaan. Budaya masyarakat Banyuwangi sangat beragam dan meliputi budaya lokal dari suku Jawa, suku Bali, suku Madura, dan suku Melayu. Terdapat pula budaya asing yang meliputi budaya Eropa.
Di dusun Selorejo, kecamatan Glenmore, di lereng Gunung Raung, terdapat Pura Beji Ananthaboga, sebuah pura dan petirtaan yang terletakserta menempati wilayah Perhutani KPH Banyuwangi Barat.
Batik yang disebut-sebut sebagai jati diri Bangsa Indonesia tak bisa diragukan. Keberadaannya memang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa. Motif-motifnya pun terinspirasi tak jauh dari kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan banyuwangi, memiliki beberapa motif yang terkenal yaitu
Jenis Batik tadi merupakan sebagian dari Motif Batik khas Banyuwangi yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.
Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.
Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling.
Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle), yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama, dan angklung, atau rebana.
Peta KAB. BANYUWANGI