Perusahaan Jasa Konstruksi SUMATERA SELATAN : Kontraktor & Konsultan di SUMATERA SELATAN

FILTER BY

Tour Type

Duration

Sumatera Selatan
BAJA PRIMA UTAMA
Grade: K
Asosiasi : SERTIFIKASI BADAN USAHA GABUNGAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL (GAPEKSINDO)
Sumatera Selatan
KARYA PRIMA PONDASI
Grade: Spesialis
Asosiasi : ASPEKNAS KONSTRUKSI MANDIRI (ASPEKNAS)
Sumatera Selatan
PANCA KARYA
Grade: K1
Asosiasi : ASKOPINDO
Sumatera Selatan
SRIWIJAYA KARYA
Grade: K
Asosiasi : Lembaga Sertifikasi INKINDO
Sumatera Selatan
KARYA ANUGRAH
Grade: K
Asosiasi : SERTIFIKASI BADAN USAHA GABUNGAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL (GAPEKSINDO)
Sumatera Selatan
JAYA KARYA
Grade: K1
Asosiasi : ASPEKNAS
Sumatera Selatan
SAPTA KARYA MANUNGGAL
Grade: M1
Asosiasi : AKMI
Sumatera Selatan
MALANDA KARYA
Grade: K
Asosiasi : SERTIFIKASI BADAN USAHA GABUNGAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL (GAPEKSINDO)
Sumatera Selatan
MITRA KARYA
Grade: K1
Asosiasi : PERKOPINDO
Sumatera Selatan
SURYA KARYA
Grade: Spesialis
Asosiasi : LSBU KONSTRUKSI INDONESIA (ASPEKINDO)
Sumatera Selatan
KARYA MULIA
Grade: K1
Asosiasi : GAPEKSINDO
Sumatera Selatan
CV KARYA AGUNG
Grade: K
Asosiasi : SERTIFIKASI BADAN USAHA GABUNGAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL (GAPEKSINDO)
Sumatera Selatan
AGUNG KARYA SEMPURNA
Grade: K
Asosiasi : Lembaga Sertifikasi INKINDO
Sumatera Selatan
SARI KARYA
Grade: M
Asosiasi : Gamana Krida Bhakti (GAPENSI)
Sumatera Selatan
KARYA BAKTI
Grade: K
Asosiasi : Gamana Krida Bhakti (GAPENSI)
Sumatera Selatan
KARYA BAKTI
Grade: K1
Asosiasi : GAPENSI
Sumatera Selatan
KARYA BERSAMA
Grade: K
Asosiasi : SERTIFIKASI BADAN USAHA GABUNGAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL (GAPEKSINDO)
Sumatera Selatan
AGUNGKARYA REKALESTARI
Grade: B
Asosiasi : PT PANCA SATYA JAYATAMA NUSANTARA (GABPEKNAS)
indokontraktor.com loader
Showing 1 - 18 of 22

Tentang SUMATERA SELATAN

logo SUMATERA SELATAN

Sumatera Selatan adalah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian Selatan pulau Sumatera. Ibu kota Sumatera Selatan berada di kota Palembang, dan pada akhir tahun 2023 penduduk provinsi ini berjumlah 8.889.913 jiwa. Secara geografis, Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu, ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kedatuan Sriwijaya.

Dari abad ke-7 hingga akhir abad ke-14, provinsi ini merupakan pusat Kerajaan Buddha Sriwijaya, yang memengaruhi sebagian besar kawasan Asia Tenggara. Sriwijaya adalah pusat penting bagi perluasan agama Buddha di Kepulauan Nusantara pada abad ke-8 hingga abad ke-12. Sriwijaya juga kerajaan bersatu pertama yang mendominasi sebagian besar Nusantara yang kini disebut Indonesia. Karena posisi geografisnya, ibu kota Sriwijaya, Palembang, menjadi pelabuhan berkembang yang sering dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, Subbenua India, dan Tiongkok. Dimulai pada abad ke-13, Islam mulai menyebar di wilayah tersebut, secara efektif menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di wilayah tersebut.

Pada abad ke-17, Kesultanan Palembang didirikan dengan Palembang sebagai ibukotanya, pada saat itu pula orang-orang Eropa mulai berdatangan di wilayah ini. Belanda menjadi kekuatan dominan di wilayah tersebut. Melalui Vereenigde Oostindische Compagnie, Belanda memberikan pengaruh terhadap Kesultanan Palembang. Hingga pada akhirnya Kesultanan Palembang dibubarkan. Wilayah ini seperti wilayah lainnya di Indonesia, Belanda mengambil alih pemerintahan untuk abad berikutnya, tetapi selama Perang Dunia II, Jepang menyerang Palembang dan mengusir Belanda.

Jepang menduduki wilayah Sumatera Selatan sampai Agustus 1945, ketika mereka menyerah kepada pasukan Sekutu. Belanda berusaha untuk kembali ke wilayah tersebut, tetapi ini ditentang oleh Republik Indonesia yang baru dideklarasikan, sehingga terjadi Perang Kemerdekaan. Pada akhirnya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menarik diri dari wilayah tersebut pada tahun 1950. Provinsi Sumatera Selatan kemudian dibentuk pada 12 September 1950. Namun, berdasarkan peraturan daerah Provinsi Sumatera Selatan tentang hari jadi provinsi Sumatera Selatan maka pemerintah Sumatera Selatan menetapkan bahwa 15 Mei 1946 merupakan hari jadi provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Sumatera Selatan telah dihuni manusia sejak zaman Palaeolitikum. Bukti adanya permukiman tersebut dibuktikan dengan ditemukannya perkakas zaman Paleolitikum di dasar sungai Saling dan sungai Kikim di Desa Bungamas, Kabupaten Lahat dan Tujuh puluh delapan kerangka yang berasal dari 3.000–14.000 tahun yang lalu, diduga berasal dari Austronesia dan Austromelanesoid digali dari situs Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Peninggalan tujuh bilik batu yang diyakini berusia sekitar 2.500 tahun ditemukan di dekat perkebunan kopi di Kotaraya Lembak, Kabupaten Lahat. Sekitar tahun 300 SM, masyarakat Deutero-Melayu tiba di wilayah ini dan mendorong penduduk asli ke pedalaman.

Sekitar abad ke-7 M, sebuah kerajaan Buddha kuno bernama Sriwijaya didirikan di daerah yang sekarang disebut Palembang. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan kekuatan maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya ke luar kepulauan Asia Tenggara, kecuali menyumbang penduduk Madagaskar sejauh 3.300 mil sebelah barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. Kemungkinan besar kerajaan tersebut dahulu memindahkan pusat administrasinya, namun ibu kotanya tetap diperintah langsung oleh penguasa, sedangkan wilayah pendukungnya diperintah oleh datuk setempat.

Pada abad ke-7, bangsa Tionghoa mencatat terdapat dua kerajaan yakni Melayu dan Kedah yang merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya sudah ada sejak tahun 671 menurut catatan Tionghoa Biksu Buddha Yijing. Dari prasasti Kedukan Bukit tahun 682, kerajaan ini mulai dikenal di bawah pimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengambil berkah", dan memimpin 20.000 prajurit dan 312 orang di dalamnya dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan ke Jambi dan Palembang. Prasasti Kedukan Bukit konon merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa penulis prasasti ini mengadaptasi ortografi India.

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur bertanggal 686 Masehi yang ditemukan di Pulau Bangka, kerajaan ini pernah mendominasi Pulau Sumatera bagian Selatan, pulau Bangka dan Belitung, ke Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Kaisar Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum kerajaan Bhumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya, peristiwa ini bertepatan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah, yang kemungkinan besar disebabkan oleh serangan Sriwijaya. Mungkin juga kerajaan Bhumi Jawa yang disebutkan dalam prasasti tersebut merujuk pada Kerajaan Tarumanegara. Sriwijaya terus berkembang dan berhasil menguasai jalur perdagangan laut di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan Selat Karimata.

Perluasan kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Melayu, memungkinkan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Arkeolog menemukan reruntuhan candi Sriwijaya hingga Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di Indochina timur mulai mengalihkan para pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal ini, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan terhadap kota-kota pesisir di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong direbut oleh Sriwijaya pada awal abad ke-8. Sriwijaya melanjutkan dominasinya di Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri Kekaisaran Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Pada akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing, berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada periode tersebut orang Sailendra merantau ke Jawa Tengah dan memerintah di sana. Pada abad yang sama, kerajaan Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian dari kerajaan tersebut. Pada periode berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Berdasarkan catatan sejarah dari Arabia, Sriwijaya disebut Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir dan sejarawan Arab klasik menulis tentang Sriwijaya, menggambarkannya sebagai kerajaan besar yang kaya raya, dengan banyak prajurit. Sriwijaya memproduksi Kapur barus, gaharu, cengkeh, Cendana, pala, kapulaga dan Gambir. Catatan lain dari seorang ahli Persia bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat informasi dari Sujaimana, seorang pedagang Arab, bahwa kerajaan tersebut sudah maju dalam bidang pertanian. Abu Zaid menulis bahwa kerajaan Zabaj (nama Arab lain untuk Sriwijaya) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, namun pada akhir abad tersebut Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan maritim baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tionghoa dari Dinasti Song menyebut nama Kerajaan Sriwijaya di Sumatera San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikatakan bahwa San-fo-tsi dan She-po terlibat dalam persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negara saling mengirimkan duta besarnya ke Tiongkok. Duta Besar San-fo-tsi yang berangkat pada tahun 988 ditahan di Kanton ketika ia kembali, karena negaranya diserang oleh pasukan Jawa. Penyerangan dari Pulau Jawa ini diduga terjadi sekitar tahun 990an, antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 menyebutkan serangan Jawa di Sumatra. Rentetan serangan dari Jawa ini akhirnya gagal karena Jawa gagal membangun pijakan di Sumatera. Merebut ibu kota Palembang saja tidak cukup karena Sriwijaya menyebar di beberapa kota pelabuhan di Selat Malaka. Kaisar Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, melarikan diri dari ibu kota dan berkeliling mendapatkan kembali kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja bawahannya serta berhasil memukul mundur angkatan laut Jawa.

Pada tahun 1025, kekaisaran ini dikalahkan oleh Kekaisaran Chola (pada masa Kaisar Rajendra Chola I) di India selatan. Kerajaan Chola telah menaklukkan wilayah jajahan Sriwijaya seperti wilayah Kepulauan Nikobar dan sekaligus berhasil menangkap raja Sriwijaya yang berkuasa Sangrama-Vijayottunggawarman. Pada dekade-dekade berikutnya, seluruh kerajaan Sriwijaya berada di bawah pengaruh Dinasti Chola. Rajendra Chola I memberikan kesempatan kepada raja-raja yang ditaklukkannya untuk tetap berkuasa namun tetap tunduk padanya. Ibu kota Sriwijaya akhirnya berpindah ke utara menuju Jambi. Hal ini dapat dikaitkan dengan berita delegasi San-fo-ts'i ke Tiongkok pada tahun 1028. Faktor kemunduran Sriwijaya lainnya adalah faktor alam. Akibat sedimentasi lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, kapal dagang yang tiba di Palembang berkurang. Akibatnya kota palembang semakin menjauh dari laut dan tidak strategis. Akibat kedatangan kapal dagang tersebut, pajak mengalami penurunan dan melemahkan perekonomian dan kedudukan Sriwijaya.

Menurut buku Tiongkok Dinasti Song Zhu Fan Zhi, ditulis sekitar tahun 1225 oleh Zhao Rugua, dua kerajaan terkuat dan terkaya di kepulauan Asia Tenggaran adalah Sriwijaya dan Jawa (Kediri), dengan bagian barat (Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian barat/Sunda) di bawah kekuasaan Sriwijaya dan bagian timur di bawah kekuasaan Kediri. Dikatakan bahwa masyarakat di Jawa menganut dua agama, Budha dan agama Brahmana (Hinduisme), sedangkan masyarakat Sriwijaya menganut agama Budha. Buku tersebut menggambarkan masyarakat Jawa sebagai orang yang pemberani, pemarah dan mau berkelahi. Ia juga mencatat hiburan favorit mereka seperti sabung ayam dan adu babi. Koin yang digunakan sebagai mata uang terbuat dari campuran tembaga, perak, dan timah.

Sriwijaya tetap menjadi kekuatan laut yang tangguh hingga abad ke-13. Menurut George Cœdès, pada akhir abad ke-13, kekaisaran "telah tidak ada lagi... disebabkan oleh tekanan simultan di dua sisinya yaitu Siam dan Jawa.":204,243 Namun, terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut karena tidak ada kekuatan besar yang menguasai wilayah tersebut kecuali Kekaisaran Majapahit yang semakin melemah, yang berpusat di Pulau Jawa. Kekosongan ini memungkinkan perompak berkembang biak di wilayah tersebut.

Setelah ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1375 M, wilayah Palembang dijadikan wilayah bawahan Kerajaan Majapahit, di bawah pimpinan Hayam Wuruk. Pemerintahan di Palembang diserahkan kepada seorang bupati yang diangkat langsung oleh Majapahit. Namun permasalahan internal di Kerajaan Majapahit mengalihkan perhatian mereka dari wilayah taklukan, menyebabkan wilayah palembang dikuasai oleh para pedagang dari Tiongkok. Hingga Majapahit kembali menguasai Palembang setelah mengirimkan seorang panglima bernama Arya Damar.

Pada akhir abad ke-15, Islam telah menyebar ke seluruh wilayah, menggantikan agama Budha dan Hindu sebagai agama dominan. Sekitar awal abad ke-16, Tomé Pires, seorang petualang dari Portugal, mengatakan bahwa Palembang telah dipimpin oleh seorang Patih (bupati) yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk ke Kesultanan Demak dan ikut menyerang Malaka, yang pada saat itu telah dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1659, Sri Susuhunan Abdurrahman memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang. Kesultanan Palembang berdiri selama hampir dua abad, yaitu pada tahun 1659 hingga tahun 1825. Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, atau Sunan Cinde Walang, adalah raja pertama Kesultanan Palembang.

Masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803) dikenal sebagai masa keemasan Kesultanan Palembang, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena adanya perdagangan, termasuk dengan VOC. VOC kesal dengan monopoli perdagangan Sultan Bahauddin yang menyebabkan kontrak mereka sering ditolak. Sultan Bahauddin lebih suka berdagang dengan Inggris, Tiongkok dan Orang Melayu di Riau. Dampak dari kebijakan tersebut menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi kekaisaran. Kesultanan Palembang mempunyai letak yang strategis dalam melakukan hubungan dagang, terutama bumbu dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga menguasai Kepulauan Bangka-Belitung yang mempunyai tambang timah dan diperdagangkan sejak abad ke-18.

Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut, Kesultanan mulai mengalami kemunduran dan kehilangan kekuasaannya. Selama Perang Napoleon pada tahun 1812, sultan pada saat itu, Mahmud Badaruddin II menolak klaim kedaulatan Inggris. Inggris, di bawah Stamford Raffles menanggapinya dengan menyerang Palembang, memecat istana, dan mengangkat adik laki-laki sultan yang lebih kooperatif, Najamuddin naik takhta. Belanda berusaha memulihkan pengaruhnya di istana pada tahun 1816, namun Sultan Najamuddin tidak mau bekerja sama dengan mereka. Sebuah ekspedisi yang dilancarkan Belanda pada tahun 1818 dan menangkap Sultan Najamudin serta mengasingkannya ke Batavia. Sebuah garnisun Belanda didirikan pada tahun 1821, tetapi sultan mencoba melakukan serangan dan meracuni garnisun secara massal, yang diintervensi oleh Belanda. Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate, dan istananya dibakar habis. Kesultanan ini kemudian dihapuskan oleh Belanda dan pemerintahan kolonial langsung didirikan.

Sumatera Selatan diduduki oleh Jepang pada tanggal 15 Januari 1942, setelah Pertempuran Palembang di Perang Dunia II. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sumatera Selatan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera sebagai keresidenan dengan Adnan Kapau Gani sebagai residennya. Pada tanggal 1 Januari 1947, Belanda berusaha merebut kembali kedaulatannya atas Sumatera Selatan dengan menyerbu Palembang dan terjadilah pertempuran di seluruh Sumatera Selatan hingga kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Wilayah yang diduduki Belanda di Sumatera Selatan dimasukkan ke dalam Negara Sumatera Selatan di bawah Republik Indonesia Serikat sampai pembubaran serikat pekerja dan berdirinya republik.

Pada tanggal 12 September 1950 berdirilah Provinsi Sumatera Selatan dengan wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan sekarang, karena mencakup sepertiga bagian selatan pulau Sumatera yang meliputi wilayah yang akhirnya dibentuk menjadi provinsi-provinsi tersendiri: Lampung diukir dari bagian selatan provinsi pada tahun 1964, Bengkulu dari pesisir barat provinsi pada tahun 1967, dan Bangka Belitung pada tanggal 4 Desember 2000.

Provinsi Sumatera Selatan secara astronomis terletak antara 1–4° Lintang Selatan dan 102–106° Bujur Timur, dan luas daerah seluruhnya adalah 87.017.41 km2.

Secara topografi, wilayah Sumatera Selatan di Pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk kedalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Disana terdapat Pegunungan bukit barisan yang membelah Sumatera Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900 – 1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Disebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas merupakan anak Sungai Musi.

Seperti di sebagian besar provinsi lain di Indonesia, Sumatera Selatan mempunyai iklim hutan hujan tropis (klasifikasi iklim Köppen Af) yang berbatasan dengan iklim muson tropis. Iklim sangat ditentukan oleh laut di sekitarnya dan sistem angin yang ada. Ini memiliki suhu rata-rata yang tinggi dan curah hujan rata-rata yang tinggi. Sepanjang tahun provinsi ini hanya dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Suhu udara bervariasi antara 24,7 hingga 32,9 derajat Celcius dengan tingkat kelembapan udara berkisar antara 82% hingga 88%. Musim hujan relatif terjadi pada bulan Oktober hingga April. Variasi curah hujan berkisar antara 2,100 hingga 3,264 milimeter (0 hingga 0 in). Desember merupakan bulan dengan curah hujan terbanyak sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni hingga September.

Iklim di Sumsel mirip dengan daerah lain di Indonesia, hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dari bulan Juni hingga September, angin tenggara bertiup dari Australia dengan uap air yang relatif lebih sedikit, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai Maret arus angin banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudra Pasifik pada musim hujan. Kondisi seperti ini terjadi setiap setengah tahun sekali setelah melewati masa transisi antara bulan April – Mei dan Oktober – November.

Gubernur adalah pimpinan tertinggi dalam pemerintahan provinsi Sumatera Selatan, dan bertanggungjawab atas wilayah tersebut. Saat ini, gubernur yang menjabat di Sumatera Selatan yakni Agus Fatoni sebagai penjabat sejak 2023.

DPRD Sumsel beranggotakan 75 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Sumsel terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRD Sumsel yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 24 September 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Palembang di Gedung DPRD Provinsi Sumatera Selatan. Komposisi anggota DPRD Sumsel periode 2019-2024 terdiri dari 11 partai politik dimana Partai Golkar adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 13 kursi, kemudian disusul oleh PDI Perjuangan yang meraih 11 kursi dan Partai Gerindra yang meraih 10 kursi. Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Sumsel dalam tiga periode terakhir.

Ibu kota provinsi Sumatera Selatan adalah Palembang. Pada tahun 2000 provinsi ini terbagi menjadi enam Kabupaten - Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu - ditambah Kota otonom Palembang. Pada tanggal 21 Juni 2001 tiga kota otonom baru dibentuk - Lubuklinggau dari sebagian Kabupaten Musi Rawas, Pagar Alam dari sebagian Kabupaten Lahat, dan Prabumulih dari sebagian Kabupaten Muara Enim. Kabupaten ketujuh - Banyuasin - dibentuk pada tanggal 10 April 2002 dari sebagian Kabupaten Musi Banyuasin; dan tiga kabupaten selanjutnya dibentuk pada tanggal 18 Desember 2003 - Ogan Ilir dari sebagian Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu Selatan dan Ogan Komering Ulu Timur dari sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu.

Kabupaten kesebelas - Empat Lawang - dibentuk pada tanggal 2 Januari 2007 dari sebagian Kabupaten Lahat. Dua kabupaten baru kemudian dibentuk melalui pemekaran kabupaten yang sudah ada — Penukal Abab Lematang Ilir dari sebagian Kabupaten Muara Enim pada tanggal 14 Desember 2012, dan Musi Rawas Utara dari sebagian Kabupaten Musi Rawas pada tanggal 10 Juni 2013. Berikut ini adalah ketigabelas kabupaten dan empat kota beserta wilayah dan jumlah penduduknya pada Sensus 2010 dan Sensus 2020, bersama dengan perkiraan resmi pada pertengahan tahun 2022.

Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 13 kabupaten, 4 kotamadya, 241 kecamatan, 3.263 kelurahan / desa. Pada tahun 2023, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 8.889.913 jiwa dengan total luas wilayah 91.592 km².

Masalah kependudukan di antara lain meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal dasar pembangunan, tetapi dapat juga menjadi beban dalam proses pembangunan jika mempunyai kualitas yang rendah. Oleh sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam menangani permasalahan penduduk pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Di samping itu program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

Pada tahun 2020 jumlah penduduk Sumatera Selatan sudah mencapai 8.497.196 jiwa, yang menempatkan Sumatera Selatan sebagai provinsi ke-6 terbesar penduduknya di Indonesia. Secara absolut jumlah penduduk Sumatera Selatan terus bertambah dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 1971 jumlah penduduk sebesar 2,931 juta jiwa, meningkat menjadi 3,975 pada tahun 1980, 5,493 juta jiwa pada tahun 1990 serta 6,273 pada tahun 2000. Dengan jumlah penduduk yang begitu besar maka Sumatera Selatan dihadapkan kepada suatu masalah kependudukan yang sangat serius. Oleh karena itu, upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraan penduduk harus merupakan suatu upaya yang berkesinambungan dengan program pembangunan yang sedang dan akan terus dilaksanakan.

Masyarakat Sumatera Selatan memiliki ragam etnis dan kelompok budaya, umumnya terbagi atas etnis pribumi (Iliran dan Uluan) dan etnis pendatang. Etnis pribumi berada dalam satu istilah kolektif "Melayu Palembang" yang terbagi menjadi dua, yaitu Orang Iliran dan Orang Uluan. Di Sumatera Selatan, semua etnis hidup berdampingan dan damai, bahkan tidak pernah terjadi konflik antar etnis dan umat beragama.

Suku Komering merupakan salah satu suku atau daerah kebudayaan di Sumatera Selatan yang berada di sepanjang Sungai Komering. Seperti suku bangsa lainnya di Sumatera Selatan, ciri khas suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga Lampung. Masyarakat Komering terbagi menjadi dua kelompok besar: Komering Ilir yang tinggal di sekitar Kayu Agung dan Komering Ulu yang tinggal di sekitar kota Baturaja. Masyarakat Komering terbagi menjadi beberapa marga, diantaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Peliyung Pemuka Buay, marga Bu Madang, dan marga Semendawai. Kawasan kebudayaan Komering merupakan kawasan yang paling luas dibandingkan kawasan kebudayaan suku-suku lain di Sumatera Selatan. Selain itu, jika dilihat dari karakter masyarakatnya, masyarakat Komering dikenal memiliki sifat yang tinggi dan keras. Berdasarkan cerita rakyat pada masyarakat Komering, nenek moyang orang Komering dan nenek moyang Orang Batak di Sumatera Utara, konon masih bersaudara. Saudara-saudara yang datang dari seluruh negeri. Setelah sampai di Sumatera, mereka berpisah. Kakak laki-lakinya pergi ke selatan menjadi nenek moyang orang Komering, dan adik laki-laki di utara menjadi nenek moyang orang Batak.

Suku Semendo adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, khususnya sekitar Bukit Barisan. Mereka memiliki hubungan erat dengan Suku Besemah, Suku Lematang, dan Suku Ogan, ditandai dengan kemiripan bahasa, adat istiadat, dan struktur sosial. Mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari pertanian, terutama kopi robusta dan beras, dengan produksi kopi mencapai 300 ton per tahun. Budaya mereka dipengaruhi oleh Islam, mulai dari musik rebana, lagu dan tarian daerah sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu dan budaya Islam. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Bahasa Semendo.

Suku Musi dikenal sebagai salah satu kelompok etnis asli di Sumatera Selatan, khususnya di sekitar aliran Sungai Musi. Mereka terbagi menjadi beberapa subkelompok, termasuk Musi Ulu, Musi Sekayu, dan Musi Banyuasin. Suku Musi memiliki tradisi dan adat istiadat yang khas, dengan kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh sungai sebagai sumber utama mata pencaharian mereka, seperti perikanan dan perdagangan sungai. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Musi, yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.

Suku Ogan mendiami wilayah sekitar aliran Sungai Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Ilir. Mereka juga dikenal sebagai Orang Ogan. Suku ini memiliki sistem marga yang kuat, dengan beberapa marga seperti Marga Ogan Ilir dan Marga Ogan Ulu. Tradisi dan budaya Ogan sangat kental dengan pengaruh Melayu dan Islam. Bahasa Ogan adalah bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang masih erat kaitannya dengan bahasa Melayu.

Suku Enim adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Muara Enim. Mereka dikenal memiliki tradisi bertani yang kuat, terutama dalam budidaya padi dan kopi. Suku Enim juga memiliki tradisi kesenian yang kaya, termasuk tari-tarian dan musik tradisional. Bahasa Enim, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu, digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

Suku Besemah, juga dikenal sebagai Pasemah atau Basemah, mendiami wilayah sekitar Pegunungan Bukit Barisan di Kabupaten Lahat dan sekitarnya. Mereka terkenal dengan sistem pertanian ladang dan sawah yang mereka kelola. Suku Besemah memiliki kebudayaan yang unik, termasuk tradisi megah berladang dan adat istiadat yang diwariskan turun temurun. Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Besemah, yang juga masuk dalam rumpun bahasa Melayu.

Suku Lematang tinggal di sepanjang aliran Sungai Lematang di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Lahat dan sekitarnya. Mereka memiliki budaya agraris yang kuat, dengan kegiatan utama berupa pertanian padi dan perkebunan kopi. Suku Lematang memiliki struktur sosial yang berbasis pada marga dan adat istiadat yang ketat. Bahasa Lematang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu.

Suku Rawas mendiami wilayah sekitar Sungai Rawas di Kabupaten Musi Rawas Utara. Mereka dikenal sebagai kelompok etnis yang memiliki keterampilan dalam bercocok tanam dan berdagang. Suku Rawas juga memiliki adat istiadat yang kaya, dengan berbagai upacara adat yang masih dipertahankan hingga saat ini. Bahasa Rawas digunakan oleh masyarakat dalam komunikasi sehari-hari.

Dan masih banyak lagi suku lain di Sumatra Selatan, seperti Suku Kayu Agung dan Suku Pedamaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Suku Gumai dan Suku Kikim di Kabupaten Lahat, Suku Pegagan dan Suku Penesak di Kabupaten Ogan Ilir, Suku Daya dan Suku Kisam di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Suku Rambang dan Suku Belide di Kabupaten Muara Enim dan lainnya.

Berdasarkan data dari Sensus Badan Pusat Statistik Tahun 2010. Berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di Provinsi Sumatera Selatan:

Catatan:* Data yang dihitung adalah data yang tercatat, di luar data yang tidak diketahui, dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010. Suku asal Sumatera Selatan lainnya termasuk semua suku dari Sumatera Selatan seperti Melayu (Melayu Palembang dan Banyuasin-Pesisir) serta suku Daya, Enim, Gumai, Kayu Agung, Kikim, Kisam, Komering, Lematang, Lengkayap, Lintang, Lom, Mapur, Sekak, Meranjat, Musi Ulu, Musi Sekayu, Ogan, Orang Sampan, Pesemah, Pedamaran, Pegagan, Rambang, Ranau, Rawas, Saling, Semendo, Teloko, Ulu. Selain itu, terdapat pula kelompok etnik Rejang asli Sumatera Selatan di daerah Ulu Rawas, Musi Rawas Utara.

Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi di provinsi ini, sebagian besar etnis Melayu berbicara dengan dialek Bahasa Melayu yang disebut Melayu Palembang atau Musi. Saat ini, Bahasa Melayu Palembang telah menjadi Lingua Franca di wilayah tersebut. Bahasa Melayu Palembang berasal dari Bahasa Melayu Kuno yang menyatu dengan Bahasa Jawa dan dilafalkan menurut logat masyarakat Palembang. Apalagi bahasa ini telah menyerap kata-kata dari Arab, Urdu, Persia, Cina, Portugis, Inggris dan Belanda, karena dahulunya Palembang adalah kota perdagangan besar, menarik berbagai macam pedagang dari berbagai tempat. Dahulu bahasa Melayu Palembang ditulis dengan aksara Jawi, versi modifikasi dari aksara Arab. Saat ini pengguna aksara Jawi semakin berkurang dan digantikan oleh Aksara Latin.

Bahasa Melayu Palembang terdiri dari dua jenis, pertama adalah bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh semua orang di kota atau disebut juga dengan bahasa pasar. Kedua adalah gaya sopan dan formal (Bebaso), yang digunakan oleh kalangan terbatas, seperti sultan dan bangsawan. Biasanya diucapkan oleh dan untuk orang yang dihormati atau yang lebih tua. Seperti yang biasa dilakukan oleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumuran dengan tujuan untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbicara dengan sopan dan halus.

Namun para pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti Komering, Rawas, Musi dan Lahat. Para pendatang dari luar Sumsel terkadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari di keluarga atau masyarakat daerahnya. Namun untuk berkomunikasi dengan warga palembang lainnya, warga umumnya menggunakan bahasa melayu palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain masyarakat adat, di Palembang juga terdapat pendatang dan keturunan, seperti dari Pulau Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar. Banyak keturunan yang tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan India.

Bahasa Indonesia pada umumnya digunakan sebagai bahasa kedua dan juga sebagai bahasa pendidikan dan untuk keperluan resmi.

Hingga 2023, Islam adalah agama terbesar di Sumatera Selatan, dianut oleh 97,22% penduduk. Agama ini sebagian besar dianut oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau, dan Sunda. Agama minoritas adalah Kristen (Protestan dan Katolik Roma) dengan 1,57% yang umum dianut oleh suku Batak, Nias, Minahasa, sebagian Tionghoa, dan Jawa yang berada di transmigrasi. Yang menganut agama Buddha sebanyak 0,76% umumnya dianut warga Tionghoa khususnya di Kota Palembang. Sebagian lagi beragama Hindu sebanyak 0,49% yang dianut etnis Bali di kawasan transmigrasi. Yang menganut agama Konghucu dan penganut kepercayaan, kurang dari 0,01%.

Seperti kebanyakan kebudayaan provinsi lainnya di Pulau Sumatera, kebudayaan provinsi Sumatera Selatan sebagian besar dipengaruhi oleh budaya Melayu. Selain itu, ada pula kebudayaan yang dipengaruhi oleh Islam, dan ada pula yang dipengaruhi oleh kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Kekayaan budaya Sumsel antara lain berupa rumah adat, pakaian adat, berbagai jenis tarian, serta makanan khas daerah tersebut. Kekayaan budaya Sumsel tidak hanya populer di wilayah Sumsel sendiri.

Di seluruh pelosok Indonesia, berbagai kebudayaan Sumsel sudah terkenal, bahkan digemari banyak orang. Contohnya adalah rumah adat rumah limas, rumah ini banyak diadopsi oleh masyarakat di berbagai daerah karena pembangunannya yang tidak rumit. Selain itu, tenun songket juga menjadi salah satu kain khas yang digemari banyak orang. Makanan khas Sumatera Selatan yaitu Pempek tidak hanya dapat ditemukan di kota Palembang dan sekitarnya, namun juga sudah menyebar ke seluruh Indonesia serta negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Rumah limas merupakan rumah adat yang ada di provinsi Sumatera Selatan. Arsitektur rumah adat ini dipengaruhi oleh budaya Islam dan budaya Melayu. Meskipun rumah adat ini berasal dari Sumatera Selatan, namun telah mempengaruhi pembangunan rumah adat lain di tempat lain.

Rumah adat rumah limas memiliki luas antara 400 hingga 1000 meter persegi. Seluruh rumah bertumpu pada tiang-tiang kayu yang digantung di tanah. Rumah limas terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu ruang utama pangkeng (kamar tidur), dan pawon (dapur). Ruang utama terletak di tingkat paling atas dan tepat di bawah atap limas. Di ruangan ini terdapat amben atau ruang konferensi. Ruangan ini terletak di tengah-tengah rumah limas, baik untuk keperluan adat maupun dekoratif. Bagian pangkeng adalah kamar tidur. Bagian ruang ini berada di sisi kanan atau kiri. Untuk memasuki ruangan pangkeng harus dilakukan dengan melewati penutup pintu berbentuk kotak. Kotak tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai perkakas.

Di bagian belakang terdapat pawon. pawon merupakan bagian dari dapur rumah adat ini. Kata pawon sebenarnya tidak hanya dikenal di Sumatera Selatan. Masyarakat Orang Jawa, selain mengadaptasi bentuk rumah Limas, juga mengenal kata pawon untuk menyebut posisi dapur di rumahnya.

Pakaian adat Sumatera Selatan dikenal dengan nama Aesan gede yang melambangkan keagungan, dan Aesan paksangko yang melambangkan keanggunan masyarakat Sumatera Selatan. Pakaian adat ini biasanya hanya digunakan pada saat upacara adat pernikahan saja. Dengan pengertian bahwa upacara perkawinan ini merupakan suatu upacara yang besar. Dengan menggunakan Aesan Gede atau Aesan Paksangko sebagai kostum pengantin memiliki makna yang sangat anggun karena kedua mempelai digambarkan sebagai raja dan ratu. Perbedaan pola Aesan Gede dan Aesan Paksongko jika dirinci sebagai berikut; Gaya Gede Pink dipadukan dengan warna emas. Kedua warna tersebut dipercaya mencerminkan keagungan para bangsawan Sriwijaya. Apalagi dengan gemerlapnya perhiasan pelengkap serta mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, dan standar kelapo. Kemudian dipadukan dengan baju dodot dan kain songket lepus bermotif warna perak untuk Aesan Paksangko. Untuk laki-laki menggunakan lepus bersulam emas, jubah motif bunga emas, selempang songket, berlengan, dan songkok emas dikenakan di kepala. Dan bagi wanita yang menggunakan bunga teratai, kurung mulia berwarna merah bertahtakan bunga bintang emas, kain songket lepus bersulam emas, dan hiasan kepala berupa mahkota Aesan Paksangko. Tak ketinggalan juga pakaian penghias pakaian seperti perhiasan bergambar emas, stand by dress, bunga goyang, dan bunga kenango.

Gending Sriwijaya merupakan lagu daerah dan juga tarian yang cukup populer dari palembang. Lagu Gending Sriwijaya ini dibawakan untuk mengiringi tarian tarian Gending Sriwijaya. Baik lagu maupun tariannya menggambarkan keagungan budaya, kejayaan, dan keagungan bekas Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya menyatukan Nusantara bagian barat. Tarian Gending Sriwijaya asal Sumatera Selatan ini dibawakan untuk menyambut tamu kehormatan. Biasanya tarian ini dibawakan oleh sebanyak tiga belas orang penari, terdiri dari sembilan orang penari inti dan empat orang pengiring dan penyanyi.

Tari Tanggai atau tari Tanggai merupakan tarian tradisional Sumatera Selatan yang juga dipersembahkan untuk menyambut tamu kehormatan. Berbeda dengan tari Gending Sriwijaya, tari Tanggai dibawakan oleh lima orang dengan mengenakan pakaian daerah seperti songket, dodot, pending, kalung dan hiasan lainnya. Tarian ini merupakan perpaduan gerak gemulai dengan pakaian khas daerah. Tarian ini menggambarkan masyarakat palembang yang ramah dan penuh hormat, menghargai dan mencintai tamu yang berkunjung ke daerahnya.

Tarian songket tenun atau tarian tenun songket merupakan cerminan kehidupan sehari-hari ibu rumah tangga dan remaja putri di Sumatera Selatan. Dalam kesehariannya ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri melakukan pekerjaan berupa tenun songket yang merupakan kain khas daerahnya. Selain sebagai upaya melestarikan tari tradisional, tarian ini juga sekaligus sebagai promosi kain khas daerahnya yaitu songket.

Senjata tradisional Sumatera Selatan yang pertama dan sering menjadi ikon budaya provinsi ini adalah trisula, atau yang dikenal secara lokal sebagai trisula. Tombak ini berbentuk seperti tombak kayu dengan 3 mata tajam di ujungnya. Panjang tombaknya setinggi orang dewasa, yaitu sekitar 180 cm dan biasa digunakan oleh para pejuang kerajaan Sriwijaya sebagai senjata utama. Keris, tidak hanya digunakan oleh masyarakat Jawa saja. Beberapa sub etnis Melayu lainnya juga mengenal senjata jenis ini dalam budayanya, termasuk masyarakat Sumatera Selatan. Meski bentuknya sama, keris Sumsel mempunyai ciri khas tersendiri. Banyaknya kurva atau lekukan selalu berjumlah ganjil antara 7 sampai 13 dengan sudut yang lebar. Itu sebabnya keris khas Sumsel cenderung lebih panjang dan lancip. Skin merupakan senjata tradisional Sumatera Selatan yang diperkirakan berasal dari akulturasi budaya lokal dengan budaya pedagang Tionghoa dan Asia Timur pada masa lampau. Senjata ini bentuknya seperti senjata khas Sumatera Barat Kerambit, namun ukurannya lebih kecil dan memiliki 2 bilah tajam.

Banyak bentuk transportasi tersedia di provinsi ini. Sebagai provinsi yang dilalui oleh beberapa sungai besar, masyarakat Sumatera Selatan juga menyadari pentingnya transportasi air, yang disebut ketek. Ketek ini melayani penyeberangan sungai melalui berbagai dermaga di sepanjang Sungai Musi, Ogan dan Komering.

Terdapat tiga bandara operasional umum di provinsi ini, dengan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang menjadi yang terbesar dan tersibuk di provinsi tersebut. Bandara ini terletak di barat laut Palembang, melayani penerbangan domestik dan internasional. Namun pada tahun 2024, Bandara ini termasuk dalam salah satu dari 17 Bandara yang di cabut status Internasionalnya. Bandara ini juga menjadi embarkasi haji bagi warga Sumatera Selatan. Penerbangan domestik dilayani dari dan ke Jakarta, Bandung, Batam, Pangkal Pinang dan kota lainnya, serta tujuan internasional seperti Singapura dan Kuala Lumpur di Malaysia (sebelum di cabut status internasionalnya). Dua bandara lainnya adalah Bandar Udara Silampari di Lubuklinggau dan Bandar Udara Atungbungsu di Pagar Alam. Kedua bandara ini hanya melayani penerbangan regional.

Sumsel juga mempunyai tiga pelabuhan utama yaitu Boom Baru, Pelabuhan 36 Ilir dan Tanjung Api-Api. Ketiga pelabuhan ini melayani angkutan penumpang menggunakan kapal feri tujuan Muntok (Bangka) dan Batam. Saat ini sedang dibangun Pelabuhan Tanjung Api-Api yang melayani angkutan penumpang dan barang keluar masuk Sumsel.

Selain itu, terdapat beberapa jalur kereta api di provinsi ini. Stasiun Kertapati di Palembang merupakan stasiun terbesar di provinsi ini. Maskapai ini melayani kereta api ke dan dari Lubuklinggau dan Bandar Lampung di provinsi Lampung, dan juga kota-kota kecil seperti Baturaja, Lahat dan Prabumulih. Saat ini, jalur kereta api hanya berhenti di Lubuklinggau, namun terdapat rencana untuk membangun jalur kereta api ke Bengkulu, yang dapat meningkatkan pergerakan penumpang dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, jalur kereta api dari Palembang ke Betung di Jambi juga sedang dalam tahap perencanaan, yang akan dihubungkan lebih jauh ke Riau dan Sumatera Utara. Secara keseluruhan, proyek-proyek ini akan menjadi tulang punggung Kereta Api Trans-Sumatera.

LRT Palembang mulai beroperasi pada Agustus 2018. Merupakan salah satu jenis yang pertama di Indonesia dan digunakan untuk mengangkut penumpang dari Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II ke pusat kota Palembang.

Sumatera Selatan kini dilintasi oleh beberapa Jalan Tol Trans-Sumatra, jalan Tol pertama yang di resmikan di Sumatera Selatan adalah Jalan Tol Palembang - Indralaya sepanjang 22 km pada tahun 2018, dan saat ini sudah mencapai Prabumulih, dan pada tahun 2025 akan terus di perpanjang hingga Indralaya - Muara Enim sepanjang 119 km. Namun dalam masterplan Jalan Tol Trans Sumatera, provinsi ini juga akan terhubung melalui jalan tol dengan provinsi lain seperti Bengkulu, Jambi dan Lampung. Pembangunan tol Bakauheni-Bandar Lampung-Palembang selesai pada akhir tahun 2019, Sedangkan Tol Palembang-Betung-Jambi dan Tol Lubuklinggau-Bengkulu masih dalam tahap pembangunan. Jalan Tol lainnya adalah Palembang - Tanjung Api-Api, namun hingga kini tak ada kabarnya.

Terdapat lima sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi di Sumsel, seperti industri pengolahan, pertambangan, pertanian, konstruksi, serta perdagangan besar dan eceran, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api, pertumbuhan ekonomi Sumsel juga ditopang oleh pariwisata.

Cadangan batubara di Sumsel berjumlah 22,24 miliar ton atau 48,45 persen dari total cadangan nasional. Provinsi ini juga memiliki 4,18 triliun standar kaki kubik gas alam dan 757,4 standar kaki kubik minyak bumi.

Meski demikian, sektor pertanian masih menjadi andalan penyerapan tenaga kerja di Sumsel dibandingkan sektor lainnya dengan serapan mencapai 1,9 juta orang. Angka tersebut sesuai dengan potensi wilayah yang memiliki luas pertanian sekitar 774 ribu hektare. Potensi sumber daya pertanian di Sumsel cukup besar dengan produksi beras tahunan mencapai 4,2 juta ton, produksi jagung mencapai 289 ribu ton, produksi kedelai mencapai 16 ribu ton, produksi minyak sawit mencapai 2,718 juta ton, Produksi kopi (biji kering) mencapai 135,2 ribu ton, produksi kelapa mencapai 65 ribu ton. Selain sektor pertanian, dua sektor lainnya juga menyerap tenaga kerja, yaitu sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, serta industri pengolahan. Pada sektor perdagangan terdapat 688.000 tenaga kerja, dan industri pengolahan mencapai 279.300 orang.

Perekonomian Sumsel pada triwulan II tahun 2017 terus menunjukkan perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Realisasi pertumbuhan ekonomi Sumsel triwulan II tahun 2017 sebesar 5,24% (YoY), lebih tinggi dibandingkan triwulan I tahun 2017 sebesar 5,13% (YoY). Dari sisi permintaan, komponen ekspor luar negeri masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini terutama ditopang oleh perbaikan harga komoditas unggulan di Sumsel yaitu karet dan batubara. Selain itu, kinerja ekspor didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian negara-negara tujuan utama ekspor Sumsel antara lain Amerika Serikat, China dan Uni Eropa. Di sisi lain, peningkatan kinerja ekspor tidak berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga. Perlambatan konsumsi rumah tangga diperkirakan disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang mengalami pergeseran. Masyarakat mulai mengurangi kebutuhan tersier yang tercermin dari menurunnya indeks konsumsi barang tahan lama. Sementara itu, pada triwulan II tahun 2017 konsumsi pemerintah mengalami penurunan karena beberapa proyek pemerintah masih dalam tahap lelang.

Masakan Sumatera Selatan atau dikenal juga dengan nama masakan palembang merupakan masakan khas kota Palembang dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan. Ini adalah masakan paling terkenal kedua dari Sumatera setelah Padang. Masakan palembang pada dasarnya menggunakan ikan air tawar dan udang sebagai bahan utama karena peran penting Sungai Musi bagi daerah tersebut. Termasuk ikan air tawar yang populer Patin (Pangasius), baung, lais (Kryptopterus), lele (Ikan berkumis), gabus (Ikan kepala ular), mas (Ikan karper) dan gurame (gurami). Secara historis, perairan palembang memang melimpah belido (Lopis), dan telah menjadi maskot hewan resmi kota tersebut. Itu dihargai karena rasanya yang lezat dan teksturnya yang lembut. Namun karena Penangkapan ikan berlebih, saat ini ikan belido sudah langka dan kemungkinan sudah punah di kawasan Sungai Musi. Karena lokasinya yang tidak jauh dari laut, makanan laut seperti udang, tenggiri dan kakap merah juga populer di palembang. Selain masakan ikan air tawar, banyak variasi masakan, makanan ringan, minuman, dan manisan dalam masakan palembang.

Rempah-rempah juga umumnya dimasukkan meskipun tidak semurah rempah-rempah yang berasal dari pulau yang sama. Masakan palembang terkenal karena kesukaannya pada rasa asam dan manis, sebagaimana dibuktikan dalam pindang, tempoyak-hidangan berbahan dasar yang terbuat dari durian yang difermentasi, dan juga kuah cuko saus cuka asam pedas dari pempek. Hidangan tersebut merupakan makanan populer dan sering dikaitkan dengan kota.

Budaya Melayu, Jawa, India, dan Tionghoa telah mempengaruhi kancah kuliner Palembang. Pempek, tekwan dan mie celor adalah contoh pengaruh masakan Tiongkok di Palembang. Pempek pada dasarnya adalah makanan yang terbuat dari daging ikan yang dibuang tulangnya dan tepung tapioka, yang merupakan adaptasi lokal dari pembuatan kue ikan surimi Asia Timur. Seperti kebanyakan masakan mie di Indonesia, mie celor berasal dari pengaruh Tiongkok. Ada anggapan luas bahwa kesukaan masyarakat Palembang terhadap rasa manis disebabkan oleh pengaruh Jawa yang lebih menyukai gula aren. Memang benar, Palembang menyerap banyak unsur Jawa, termasuk bahasa dan masakan. Misalnya, dialek Bahasa Jawa dan Melayu Palembang menyebut ikan sebagai iwak, dan Cara memasaknya menggunakan bungkusan daun pisang sebagai brengkes atau brengkesan. Martabak Palembang dan nasi minyak yang menggunakan Minyak samin, sebaliknya, menunjukkan pengaruh masakan India di kota tersebut.

Sumatera Selatan, khususnya kota Palembang terkenal sebagai kota tuan rumah Asian Games 2018 bersama dengan Jakarta, Asian Games pertama yang diselenggarakan secara resmi oleh dua kota dan kota tuan rumah Asian Games keempat di Asia Tenggara setelah Bangkok pada tahun 1998. Palembang juga menjadi tuan rumah utama Pesta Olahraga Asia Tenggara 2011 dan menjadi tuan rumah dua pertandingan Piala Asia AFC 2007. Fasilitas olahraga telah dibangun di seluruh kota sejak tahun 1971 untuk menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) IX, meskipun merupakan kompleks olahraga utama kota, Jakabaring Sport City memulai pembangunannya pada tahun 1998 dan diperluas kemudian pada tahun 2010. Agar kompleks olahraga tetap sering digunakan, beberapa rencana telah diajukan oleh pemerintah untuk mendorong lebih banyak acara olahraga di kota, termasuk pembelian klub sepak bola Persijatim Solo F.C pada tahun 2004 yang kemudian berganti nama menjadi Sriwijaya F.C. Palembang juga berencana membangun Sirkuit balap di dalam kompleks untuk menjadi tuan rumah balapan MotoGP di kota tersebut.

Sepak Bola dianggap sebagai olahraga paling populer di Sumatera Selatan. Sriwijaya F.C merupakan satu-satunya klub sepak bola profesional yang aktif di Sumatera Selatan dan diikuti secara luas di seluruh provinsi, terutama di kota asalnya, Palembang. Selama pertandingan kandangnya, stadion sering dibanjiri oleh fans yang mengenakan kaos kuning di tribun selatan, kaos hijau di tribun utara, dan kaos hitam di tribun timur, mewakili tiga ultras utama klub. Bulu tangkis, bola basket, bola voli dan futsal juga mendapat perhatian luas di kota. Selain Sriwijaya F.C., tim olah raga terkemuka di Palembang adalah Amartha Hangtuah (basket) dan Palembang Bank Sumsel Babel (bola voli). Pebulu tangkis Indonesia Mohammad Ahsan dan Debby Susanto juga berasal dari Palembang.

Peta SUMATERA SELATAN