Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL) ditemukan pada tahun 1976 oleh Ir.Ryantori dan Ir. Sutjipto dari ITS dan telah dikembangkan bersama pakar Instut Teknologi Bandung pada tahun 1996. Kemudian paten perbaikannya tahun 2004 dengan Nomor Paten: ID 0018808 dipegang oleh PT. Katama Suryabumi sebagai pemegang paten dan pelaksana khusus Pondasi Konstruksi Sarang Laba-laba.
Pondasi KSLL merupakan kombinasi konstruksi bangunan bawah konvensional yang merupakan perpaduan pondasi plat beton pipih menerus yang di bawahnya dikakukan oleh rib-rib tegak yang pipih tinggi dan sistem perbaikan tanah di antara rib-rib.
Kombinasi ini menghasilkan kerja sama timbal balik yang saling menguntungkan sehingga membentuk sebuah pondasi yang memiliki kekakuan (rigidity) jauh lebih tinggi dibandingkan sistem pondasi dangkal lainnya.
KSLL merupakan sistem pondasi dangkal yang lebih kaku dan hemat, bila dilihat dari segi materialnya. Kelebihan lain dari sistem ini merupakan daya tahan horizontal yang cukup bagus.
Karena mempunyai kestabilan yang baik, dimana bila ada gerakan kearah horizontal sistem ini dapat ditahan oleh tahanan samping, dimana tekanan samping dari sistem ini cukup besar.
Konstruksi sarang laba – laba lebih dikenal dengan sebutan pondasi rakit (raft foundation). Pondasi laba – laba ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan pondasi konvensional yang lain diantaranya yaitu memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan bahan bangunan yang hemat dibandingkan dengan pondasi rakit (full plate).
Konstruksi ini mampu memperkecil penurunan bangunan karena dapat membagi rata kekuatan pada seluruh pondasi dan mampu membuat tanah menjadi bagian dari struktur pondasi, berpotensi digunakan sebagai pondasi untuk tanah lunak dengan mempertimbangkan penurunan yang mungkin terjadi dan tanah dengan sifat kembang susut yang tinggi
Sarang laba-laba juga menggunakan lebih sedikit alat-alat berat dan bersifat padat karya, waktu pelaksanaan yang relatif cepat dan dapat dilaksanakan secara industri (pracetak), lebih ekonomis karena terdiri dari 80% tanah dan 20% beton bertulang dan yang paling penting adalah ramah lingkungan karena dalam pelaksanaan hanya menggunakan sedikit menggunakan kayu dan tidak menimbulkan kerusakan bangunan serta tidak menimbulkan kebisingan disekitarnya.
Pada dasarnya pondasi laba – laba bertujuan untuk memperkaku sistem pondasi itu sendiri dengan cara berinteraksi dengan tanah pendukungnya.
Seperti diketahui bahwa jika pondasi semakin fleksibel, maka distribusi tegangan/stress tanah yang timbul akan semakin tidak merata, terjadi konsentrasi tegangan pada daerah beban terpusat. Dan sebaliknya, jika pondasi semakin kaku/rigid, maka distribusi tegangan/stress tanah akan semakin merata.
Hal ini mempengaruhi kekuatan pondasi dalam hal penurunan yang dialami pondasi. Sesuai dengan definisinya, maka konstruksi laba – laba terdiri dari 2 bagian konstruksi, yaitu :
Adanya perbaikan tanah yang dipadatkan dengan baik tersebut dapat membentuk lapisan tanah seperti lapisan batu karang sehingga bisa memperkecil dimensi pelat serta rib – ribnya. Sedangkan rib – rib serta pelat KSLL merupakan pelindung bagi perbaikan tanah yang sudah dipadatkan dengan baik.
Ketua Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) Masyhur Irsyam mengatakan pondasi Sarang Laba-laba telah banyak digunakan untuk bangunan bertingkat hingga delapan lantai, jalan, bahkan apron bandara. “Konstruksi ini meskipun termasuk pondasi dangkal namun memiliki struktur yang kuat dan rigid,” kata Masyhur Irsyam di Jakarta, Jumat (27/11).
Konstruksi sarang laba-laba yang patennya dipegang PT Katama Suryabumi ini banyak diterapkan di daerah yang sering mengalami gempa seperti di Aceh dan Sumatra Barat. Namun, persoalannya belum semua pemerintah daerah memiliki Perda seperti di DKI Jakarta yang mengharuskan bangunan tertentu memiliki sertifikat.
Memang, ujar Masyhur, perlu komitmen yang kuat dari tiap pemerintah daerah untuk menerapkan standar yang baku demi keamanan bangunan di wilayah masing-masing. Tetapi ia yakin sebagian besar pemerintah daerah terutama di daerah rawan bencana mulai mengarah ke sana. “Mereka tentunya ingin disain konstruksi yang aman,” kata dia.
Untuk menggunakan konstruksi sarang laba-laba, Masyhur mengatakan, perlu melibatkan ahli tanah yang berperan untuk mengetahui kondisi tanah. Dengan begitu, pondasi bangunan yang digunakan disesuaikan dengan kondisi tanahnya.
Ia mengemukakan ada beberapa daerah yang kondisi tanahnya tidak stabil sehingga perlu penanganan khusus seperti di Hambalang, Bogor, Jawa Barat; tol Cipularang Jawa Barat; adn tol Semarang – Bawen, Jawa Tengah.
Penggunaan jenis konstruksi apakah konstruksi dangkal, dalam, atau khusus, semua itu memiliki perhitungannya sendiri. Kalkulasi itu juga melihat sisi ekonomisnya.
“Seperti di tol Cipularang, pilihannya ketika itu jembatan atau timbunan, kalau jembatan tentunya sangat mahal, pilihannya kemudian timbunan tentunya dengan pemeliharaan,” ujar dia.
Masyhur mengatakan kemampuan ahli tanah di Indonesia tidak kalah dibandingkan ahli dari luar negeri. Kecuali untuk proyek-proyek konstruksi yang dikerjasamakan dengan asing yang memang harus mendatangkan konsultan luar.
Contohnya, pembangunan proyek MRT di Jakarta. “Tetapi selebihnya kita semua yang mengerjakan,” kata dia.
Pemerintah, kata Masyhur, sangat ketat dalam kebijakan penggunaan tenaga konsultan termasuk tenaga ahli teknik tanah. Seperti halnya dalam tender pekerjaan konstruksi yang selalu mensyaratkan rekomendasi dari ahli semacam ini. Terlebih untuk daerah rawan bencana.
Persoalannya, Masyhur menyatakan, kebutuhan ahli teknik tanah di Indonesia masih sangat besar apalagi untuk Jakarta yang memiliki tim penasehat konstruksi bangunan (TPKB). Perda di Jakarta mengharuskan bangunan di atas delapan lantai mengantongi sertifikat yang diterbitkan TPKB. Di dalam sertifikat itu, pengembang wajib mendirikan bangunan tahan gempa.