Seberapa Ramah Lingkungan Mesin 3D Printer?

Dampak penggunaan teknologi 3D Printer terhadap lingkungan tidak dapat disimpulkan secara mutlak karena piranti ini memiliki sisi positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan. Alat ini dikenal tidak hemat energi, namun di sisi lain manfaatnya sangat dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat. Jarang ada teknologi yang benar-benar sempurna, sehingga 3D Printer diusahakan sebaik mungkin agar memenuhi standar ramah lingkungan dengan terus berbenah secara bertahap.

Oleh karena itulah, kita perlu mengetahui bagaimana 3D Printer memberi dampak negatif sekaligus dampak positif bagi lingkungan. Hal tersebut diharapkan dapat membantu kita dalam menentukan langkah-langkah yang tepat agar percetakan 3D ini menjadi lebih baik lagi. Dalam konteks ini yang dibahas adalah penggunaan 3D Printer dalam skala industri besar.

Seperti kebanyakan teknologi dalam industri konstruksi dan manufaktur, mesin 3D Printer memiliki beberapa dampak buruk yang dapat mengganggu kesehatan lingkungan.

Mesin 3D Printer menggunakan metode aditif dalam pencetakannya sehingga akan memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan metode lain seperti mesin injeksi. Dengan begitu konsumsi daya listriknya akan sangat tinggi. Pencetakan satu bagian produk 3D menggunakan metode aditif 3D Printer menghabiskan listrik yang setara dengan pembuatan lusinan produk serupa menggunakan metode lain.

Pemborosan daya listrik bahkan bisa lebih banyak lagi jika filamen yang digunakan perlu titik leleh yang tinggi. Karena printer akan bekerja lebih keras untuk mempertahankan suhu tinggi tersebut selama proses cetak.

Material plastik adalah material yang paling banyak digunakan dalam pencetakan 3D sehingga sangat sulit untuk dibilang bahwa teknologi ini sepenuhnya ramah lingkungan. Oleh karena alasan inilah pengguna 3D Printer harus memilih jenis plastik yang terbaik karena setiap jenis plastik memiliki tingkat daur ulang berbeda-beda. Meskipun begitu ada beberapa material pencetakan 3D yang bisa didaur ulang yaitu gulungan kosong, katrid, dan tabung.

Salah satu efek samping yang berbahaya dari penggunaan 3D Printer adalah menguapnya senyawa organik beracun dalam ruangan tertutup saat proses pencetakan. Senyawa yang disebut dengan Volatile Organic Compounds (VOSs) ini bisa mempengaruhi kesehatan orang yang sedang mengoperasikan mesin 3D Printer. Namun, hal ini sebenarnya dapat dihindari dengan memberi ventilasi yang cukup pada ruang pencetakan.

Di luar dampak buruk penggunaan 3D Printer di atas, perangkat ini juga memiliki sisi positif yang baik untuk lingkungan. Hal inilah merupakan kabar baik bagi masa depan dunia manufaktur yang eco-friendly.

Pencetakan 3D dengan metode manufaktur aditif memerlukan material lebih sedikit jika dibandingkan dengan mesin dengan metode manufaktur subtraktif seperti mesin CNC. Manufaktur subtraktif memerlukan material utuh yang kemudian dikikis, serpihan pengikisan material tersebut tidak dipakai lagi dan jarang sekali dapat didaur ulang sehingga membuang-buang banyak material. Sedangkan manufaktur aditif hanya menggunakan jumlah material yang pas sesuai kebutuhan dimensi objek tanpa membuang material sehingga mengurangi limbah industri.

Saat suatu perangkat sudah semakin marak digunakan, maka penyedia jasa pencetakan 3D semakin mudah dijangkau di sekitar Anda. Dengan begitu, saat Anda memerlukan suatu suku cadang, Anda tidak perlu menunggu dari produsen luar negeri karena benda tersebut bisa dicetak sendiri secara lokal. Sehingga emisi kendaraan akan tereduksi karena tak perlu proses pengiriman yang panjang.

Selain itu, spare-part kendaraan luar angkasa bisa juga diganti dengan komponen plastik dari cetak 3D. Plastik lebih ringan daripada logam sehingga akan menghemat bahan bakar dan mereduksi gas karbon yang tertinggal

3D Printer tidak membutuhkan perkakas dalam proses pencetakannya. Hal ini termasuk hemat energi karena berarti Anda tidak perlu menggiling suatu bahan sebelum proses pencetakan. Kebanyakan mesin pencetakan memerlukan media atau cetakan yang harus dibuat dulu dalam proses pra-produksi.