Ilustrasi Korupsi masih Menghantui sektor Pengadaan Tanah

Pengadaan.web.id - Pemerintah masih mengalami kesulitan untuk melakukan pembebasan lahan yang nantinya digunakan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Sejumlah aturan bahkan sengaja diterbitkan untuk mengatasi masalah tersebut. Hasilnya masih belum signifikan, permasalahan dalam sektor pengadaan tanah untuk lahan infrastruktur malah semakin semrawut.

Problem dalam pengadaan tanah yang paling mendasar adalah masih terbukanya peluang untuk dikorupsi seperti penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum . Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Yenti Garnasih, Pakar Anti Pencucian Uang dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti. Yenti mengatakan bahwa celah korupsi menjadi permasalahan pengadaan tanah terkait infrastruktur lainnya yang pada kenyataannya masih harus dihadapi dalam penerapannya. Problem tersebut sekaligus menambah daftar panjang masalah pengadaan tanah lainnya yang tidak boleh dianggap sepele.

Menurut Yenti, pertanggungjawaban pidana sejatinya tidak berdiri sendiri. Umumnya, diawali dengan pelanggaran ketentuan di bidang pertanahan. Pelanggaran di sini bisa berupa tindakan sifat melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi menimbukan adanya kerugian keuangan negara. Bila hal ini terjadi, Yenti memastikan pembangunan infrastruktur akan berdampak.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) lazimnya akan turut melibatkan sejumlah pihak, antara lain pemerintah yang memiliki prakarsa, masyarakat sebagai penerima ganti kerugian dalam penggantian pengadaan lahan, dan pengembang proyek infrastruktur.

“Itu selalu terjadi, disinilah rawan terjadinya korupsi. Misalnya Hambalang ternyata tanah itu tidak layak, permasalahan ini kan bagaimana BPN waktu itu, bagaimana izin dari Bupati kok diizinkan, di belakang itukan ada masalah korupsi besar, nah inikan juga termasuk yang harus menjadi concern pemerintah,” kata Yenti menjelaskan.

Bagi Yenti, setiap rencana pembangunan termasuk pembangunan ekonomi sekalipun sudah sepatutnya dipagari agar anggaran yang diperuntukan tidak bocor. Sebab, hampir setiap kegiatan pembangunan yang sejatinya mementingkan unsur kepentingan umum malah berakhir sebagai sebuah ‘proyek’ belaka. Pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan selalu ada, menyelinap pada setiap proyek tersebut.

Oleh karenanya, Yenti menegaskan pentingnya menjaga setiap rencana pembangunan yang diprakarsai pemerintah demi kepentingan umum dengan penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut. Fokus yang perlu dipertegas pun tak cuma penanganan dari hilir semata melainkan dari mulai hulu juga mulai diperhatikan. Sebab, penyelesaian pada hilir tidak akan menyelesaikan pangkal permasalahan yang muncul di hulu.

“Saya ingin jangan sampai pihak negara bisa kecolongan, mereka harusnya bisa membuat satu kajian, satu peta, dan data dari BPN yang akurat soal tanah mana yang akurat, tanah mana yang tidak sengketa. jangan kita ngga hati-hati begitu penerima ternyata bermasalah lalu uangnya hilang pemerintah angkat tangan. Itu namanya bicara di hilir. Kita akan memberantas dari hulu ke hilir. Ini untuk mencegah korupsi,” tukas Yenti.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin mengamini bahwa soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih menyisahkan sejumlah masalah besar dalam implementasinya, seperti perilaku koruptif.

Berbagai modus koruptif dilakukan seperti melakukan mark up harga, pemalsuan ukuran tanah, bahkan pemalsuan dokumen, hingga keterlibatan oknum pemerintah yang menakut-nakuti masyarakat dengan tindak kekerasan.

Celah koruptif itu ditengarai bermula dari sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Misalnya terkait kelembagaan yang masih belum berubah.

Lembaga yang berwenang mengurusi pengadaan tanah masih dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda) dimana penentuan harga dilakukan oleh appraisal. Sementara, lembaga atau pihak yang membutuhkan tanah tersebut hanya menunggu sampai tanah tersebut siap dibangun.

“Padahal prinsip B to B itu kan tidak begitu, yang butuh tanah itu yang cari. Nah ini prinsip penetapan lokasi harusnya untuk kepentingan umum, ternyata tangannya malah terlalu banyak dan korupsinya malah terlalu banyak,” kata Iwan.

Selain itu, kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 juga tidak diutamakan. Pembangunan untuk kepentingan umum seharusnya memiliki ciri-ciri setidaknya tiga hal, yakni lintas batas segmen sosial, utamanya bukan untuk mencari keuntungan (profit), dan dibiayai, dibangun, dan dijalankan oleh badan pemerintah. Sayangnya, ciri-ciri tersebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 ‘dicampur’ dengan koridor kepentingan bisnis dimana rencana pembangunan justru kerap disederhanakan menjadi ‘proyek’ infrastruktur.

 “Dari Regulasi, kelembagaan dan implementasi di lapangan saya melihat pak Jokowi harus merubah karena dia menekankan proyek infrastruktur beda dengan rezim sebelumnya. Ini citra yang akan dia bangun, makanya harus dibenahi,” papar Iwan.

Sebaliknya, Direktur Pembinaan Pengadaan dan Penetapan Tanah Pemerintah pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN, Ali Rintop Siregar menilai bahwa UU Nomor 2 Tahun 2012 justru menjadi jalan keluar bagi pemerintah dalam upaya melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur.

Pengaturan percepatan waktu penyelesaian tanah menjadi satu hal yang dipuji dari aturan ini. “Ini jadi ada patokan waktu dalam menyelesaikan,” kata Ali.

Ali menambahkan bahwa contoh sukses pengadaan tanah terjadi di Bandar Udara Kulon Progo dan jalan tol Jawa yang bisa diselesaikan tidak lebih dalam waktu satu tahun. ambil satu contoh misalnya, Bandara Kulon Progo hanya butuh waktu 9 bulan atau 260 hari untuk proses pembebasan lahan.

Menurutnya, hambatan yang banyak terjadi lantaran masyarakat menolak melepaskan tanahnya serta sulitnya menyiapkan dokumen perencanaan untuk pengadaan tanah tersebut. Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada Kementerian PUPR,

Heri Tri Saputra menilai bahwa pengadaan tanah tak hanya bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada satu kementerian atau lembaga. Sebab, tidak semua tanah misalnya menjadi kewenangan dari BPN. Ada kalanya sebidang tanah misalnya hutan menjadi kewenangan dari Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup (KLHK). “Ini butuh dukungan dari Kementerian ATR/BPN dan Kehutanan (KLHK),” kata Heri.

Sumber:https://www.pengadaan.web.id/2017/03/korupsi-pengadaan-tanah.html