Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D), pembangunan gedung merupakan termasuk pekerjaan konstruksi. Meskipun pada dasarnya pembangunan gedung harus dilaksanakan oleh pelaku Pengadaan yang memiliki latar belakang pengetahuan konstruksi, namun sistem pengelolaan anggaran mengharuskan siapapun dengan latar belakang apapun dan dari instansi/dinas manapun dapat menerima tanggung jawab pembangunan gedung dengan didampingi oleh Penanggungjawab Teknis dari Kementerian/Dinas Pekerjaan Umum. Oleh karenanya, Kementerian PUPR telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 22/PRT/M/2018 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Di dalam Permen tersebut juga dijelaskan mengenai persyaratan teknis bangunan gedung yang nantinya bisa digunakan sebagai acuan dalam mewujudkan bangunan gedung yang berkualitas sesuai dengan fungsinya, andal, serasi, selaras dengan lingkungannya.



Pedoman Teknis ini bertujuan untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung yang selamat, sehat, nyaman, dan memberikan kemudahan bagi penghuni dan/atau pengguna bangunan gedung, serta efisien, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.

Sementara yang dimaksud dengan pembangunan adalah kegiatan mendirikan banguan gedung yang diselenggarakan melalui tahap perencanaan teknis, pelaksanaan konstriksi, pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi (MK), baik pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai dan/atau perawatan (rehabilitas, renovasi, restorasi). Pelaksanaan pembangunan BGN dilaksanakan oleh K/L/PD pemilik BGN yang dalam pelaksanaannya harus mendapat bantuan teknis berupa tenaga Pengelola Teknis dari Kementerian/Dinas Pekerjaan Umum dalam rangka pembinaan teknis.

Tahapan dalam Pembangunan BGN

1. Persiapan
Persiapan merupakan tahap pertama dalam pembangunan BGN yang bertujuan untuk menyusun progam dan pembiayaan. Dalam menyusun program, Satker/SKPD menentukan:
  1. kebutuhan luas bangunan;
  2. kebutuhan sarana dan prasarana;
  3. kebutuhan lahan.
Penyusunan program kebutuhan gedung yang luasnya lebih dari 1.500m2 dapat menggunakan jasa konsultan sebagai pekerjaan non-standar.

Setelah kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas diketahui, maka dengan pengali harga satuan yang berlaku di lokasi pembangunan dapat diketahui kebutuhan biaya untuk pembangunan BGN. Kebutuhan biaya pembangnan BGN selanjutnya dilakukan interpolasi untuk mendapatkan unsur-unsur biaya yang terdiri dari:
  1. Biaya perencanaan konstruksi;
  2. Biaya pelaksanaan konstruksi;
  3. Biaya pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi; dan
  4. Biaya administrasi kegiatan.
2. Pemaketan
Pada dasarnya, Pekerjaan Konstruksi terdiri dari 3 paket yang dilakukan melalui Penyedia dan 1 paket Swakelola. Beberapa pemahaman dasar yang terkait dengan Pekerjaan Konstruksi adalah:

a. Perbedaan Konsultan Pengawas dengan Konsultan Manajemen Konstruksi

Pengawas dan Manajemen Konstruksi adalah jasa yang saling menggantikan. Manajemen Konstruksi adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan sejak tahap perencanaan konstruksi. Manajemen Konstruksi diperlukan untuk BGN yang sekurangnya memenuhi salah satu kriteria di bawah ini:
  1. berlantai di atas 4 (empat) lantai;
  2. istana negara dan rumah jabatan presiden dan wakil presiden;
  3. wisma negara;
  4. gedung instalasi nuklir;
  5. gedung instalasi pertahanan, bangunan POLRI dengan penggunaan dan persyaratan khusus;
  6. gedung laboratoroium;
  7. gedung terminal udara/laut/darat;
  8. stasion kereta api;
  9. stadion olahraga;
  10. rumah tahanan;
  11. gudang benda berbahaya;
  12. gedung bersifat monumental;
  13. gedung perwakilan RI di luar negeri;
  14. dengan luas total di atas 5.000m2;
  15. melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun pemborong; dan/atau
  16. yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyears project).
Dalam hal BGN tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka yang dibutuhkan adalah pengawasan konstruksi.

b. Penggabungan Paket
Penggabungan paket dimungkinkan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1) Penggabungan perencanaan dengan pengawasan

Penggabungan jasa perencanaan dengan jasa pengawasan dimungkinkan untuk pekerjaan konstruksi yang memerlukan biaya perencanaan dan biaya pengawasan setingginya Rp500.000.000 (lima ratus juta). Nilai ini bukanlah nilai pasti berdasarkan ketentuan tertertu, namun estimasi nilai. Manfaat yang dapat diperoleh dengan penggabungan ini serkurangnya adalah:
  1. Efisiensi waktu pemilihan;
  2. Efisiensi unsur biaya pengawasan berkala yang ada dalam biaya perencanaan;
  3. Efektifitas koordinasi dalam pelaksanakan pekerjaan fisik.
2) Penggabungan perencanaan dan pelaksanaan
Penggabungan jasa perencanaan dengan pelaksana konstruksi dimungkinkan dalam hal-hal tertentu dimana pekerjaan membutuhkan bersifat kompleks, membutuhkan teknologi tinggi, memiliki resiko tinggi dan/atau memiliki nilai lebih dari Rp100.000.000.000 (seratus miiar). Penggabungan antara perencanaan dengan penawasan sering disebut sebagai pekerjaan konstruksi terintegrasi yang salah satunya dalam bentuk design and build (rancang bangun).  Manfaat yang dapat diproleh dari pengintegrasian pekerjaan sekurangnya adalah:
  1. Efisiensi waktu pemilihan;
  2. Efisienai waktu pelaksanaan;
  3. Efisiensi unsur biaya pengawasan berkala yang ada dalam biaya perencanaan;
  4. Efektifitas koordinasi dalam pelaksanakan pekerjaan fisik.
3. Pemecahan paket

Selain penggabungan paket, juga dimungkinkan terjadinya pemecahan paket dalam perencanaan konstruksi. Pemecahan pekerjaan perencanaan tersebut misalnya dengan cara:
  1. paket perencanaan untuk tahap konsep rancangan dan pra-rancangan, yang pemilihannya dilakukan melalui sayembara; dan
  2. paket perencanaan untuk tahap pengembangan sampai dengan pengawasan berkala, yang pemilihannya dilaksankan melalui seleksi umum.
Dalam hal paket perencanaan dilakukan pemecahan tersebut di atas, maka pengintegrasian kegiatan perencanaan teknis untuk pengembangan dengan kegiatan pelaksanaan konstruksi dalam bentuk pekerjaan konstruksi terintegrasi rancang bangun.



Secara umum, persyaratan teknis bangunan gedung negara mengikuti ketentuan yang diatur dalam:
  • Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 
  • Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 
  • Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; 
  • Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; 
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; 
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; 
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Penyusunan RTBL; 
  • Peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung; serta 
  • Standar teknis dan pedoman teknis yang dipersyaratkan. 

Persyaratan teknis bangunan gedung negara harus tertuang secara lengkap dan jelas pada Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dalam Dokumen Perencanaan. Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara adalah sebagai berikut:

1.  Persyaratan Tata Bangunan Dan Lingkungan
Persyaratan tata bangunan dan lingkungan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan gedung negara dari segi tata bangunan dan lingkungannya, meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, ketinggian maksimum bangunan, kelengkapan sarana dan prasarana bangunan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

2. Persyaratan Bahan Bangunan 
Bahan bangunan untuk bangunan gedung negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan, diupayakan meng-gunakan bahan bangunan setempat/produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian dari komponen bangunan sistem fabrikasi.

3. Persyaratan Struktur Bangunan
Struktur bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kelayanan (serviceability) serta SNI konstruksi bangunan gedung, yang dibuktikan dengan analisis struktur sesuai ketentuan.

4. Persyaratan Utilitas Bangunan 
Utilitas yang berada di dalam dan di luar bangunan gedung negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan mulai dari kualitas air minum, metode pembuangan air kotor, limbah dan sampah, pembuatan saluran air hujan, sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, instalasi listrik, penerangan dan pencahayaan, penghawaan dan pengkondisian udara, sarana transportasi dalam bangunan gedung, sarana komunikasi, sistem penangkal/proteksi petir, instalasi gas, kebisingan dan getaran, sampai dengan aksesibilitas dan fasilitas bagi penyandang cacat dan
yang berkebutuhan khusus.

5. Persyaratan Sarana Penyelamatan
Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari bencana atau keadaan darurat, serta harus memenuhi persyaratan standar sarana penyelamatan bangunan sesuai SNI yang dipersyaratkan. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: tangga darurat, pintu darurat, Pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah EXIT, koridor/selasar, sistem peringatan bahaya, dan fasilitas penyelamatan.

Sumber:https://www.pengadaan.web.id/2018/10/persyaratan-teknis-bangunan-gedung.html