Pengertian Kontrak
Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Indonesia:
- Kesepakatan para pihak, artinya adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).
- Kecakapan para pihak, artinya masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian harus telah dewasa, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang.
- Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas, artinya
- bahwa objek perjanjian itu dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta dapat ditetapkan pokok perjanjian (prestasi) yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.
- Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum, berarti causa atau sebab itu tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian tersebut harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan dan dalam hal ini sebab adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.
Di dalam proses pengadaan barang/jasa, maka PPK membuat draft rancangan kontrak yang akan menjadi satu kesatuan dengan dokumen pemilihan yang akan disusun oleh pejabat pengadaan b/j atau pokja ULP. Dalam hal ini diharapkan penyedia barang/jasa yang akan mengikuti proses pemilihan penyedia barang/jasa sudah mengetahui rancangan kontrak dan isinya. Sehingga jika nantinya ditetapkan sebagai pemenang, maka penyedia barang/jasa terpilih hanya melakukan penajaman-penajaman terhadap isi dokumen kontrak.
Di dalam persiapan melakukan kontrak, maka PPK juga harus mengetahui jenis kontrak seperti apa yang akan dilakukan dan ditanganinya sehingga tidak salah dalam melakukan manajemen kontrak dengan penyedia barang/jasa.
Untuk menghindari terjadinya utang tanpa dasar yang jelas, PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran (belum dianggarkan dalam DPA APBD/APBN). Karena hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD.
Hal ini selaras dengan Pasal 10 Permendagri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang mempunyai tugas mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Dalam batas anggaran yang telah ditetapkan maksudnya adalah anggaran tersebut tersedia dan ditetapkan dalam bentuk DPA dan disahkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Sehingga PA/KPA tidak dapat menetapkan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) pada kegiatan tertentu untuk melakukan ikatan perjanjian sebelum tersedianya anggaran.
Keterlambatan, Denda, dan Pemutusan Kontrak
Proses pengadaan barang/jasa (PBJ) tidak terlepas dari kekurangan dan permasalahan mulai saat perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, pelaksanaan pengadaan hingga proses serah terima pekerjaan. Dalamn proses pelaksanaan pengadaan lebih tepatnya saat melaksanakan perjanjian tertulis/kontrak antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia/Rekanan, juga tak terlepas dari berbagai kekurangan dan permasalahannya.
Dalam proses pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa kadang dijumpai salah satu pihak menyalahi kontrak baik bisa saja dilakukan oleh PPK maupun oleh Penyedia yang mana akan berdampak pada pelaksanaan pekerjaan baik dari segi penurunan kualitas pekerjaan yang dihasilkan, kurangnya volume pekerjaan, dan ketidaktepatan waktu penyelesaian pekerjaan.
Tentu saja hal ini tidak serta merta kemudian mengenakan denda dengan mengesampingkan penyebab terjadinya keterlambatan tersebut. PPK harus terlebih dahulu mengevaluasi keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sebelum mengambil keputusan. Disaat melakukan evaluasi atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan, PPK harus mampu memetakan faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan tersebut. Penyebab keterlambatan dapat disebabkan antara lain:
- Keterlambatan yang disebabkan oleh keadaan kahar;
- Keterlambatan yang disebabkan oleh faktor PPK;
- Keterlambatan yang disebabkan oleh faktor penyedia barang/jasa.
Keterlambatan Pekerjaan
Keterlambatan pekerjaan adalah kondisi dimana kontraktor tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu sesuai ketentuan dalam kontrak. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan dapat diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya:
- Kondisi kahar
Keterlambatan yang disebabkan oleh keadaan kahar sesuai dengan ketentuan pada Pasal 55 ayat (1) Perpres No. 16 Tahun 2018 disebutkan bahwa “Dalam hal terjadi keadaan kahar, pelaksanaan Kontrak dapat dihentikan”. Namun itupun pelaksanaan kontrak harus tetap dilanjutkan dengan cara melakukan perubahan kontrak. Ketentuan lainnya dalah penyelesaian kontrak akibat keadaan kahar dapat dilaksanakan meskipun telah melewati tahun anggaran.
- Perubahan atau penambahan volume pekerjaan
- Kesalahan pelaksana pekerjaan
- Pemberlakuan Denda Keterlambatan
Bagaimana penghitungan besaran pengenaan denda apakah dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak.
Denda Dari Nilai Total Kontrak
Denda dengan perhitungan dari nilai kontrak artinya PPK menetapkan Pengenaan sanksi denda keterlambatan dalam Kontrak sebesar satu permil dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Pemberlakuan pengenaan denda ini diterapkan pada pekerjaan yang tingkat kemanfaatannya baru dapat dicapai oleh pengguna apabila pekerjaan telah selesai secara keseluruhan.
Contoh perhitungan denda keterlambatan:
Nilai kontrak sebesar Rp. 1.000.000.000,00
PPN 10 % sebesar Rp. 100.000.000,00
Total nilai kontrak Rp. 1.100.000.000,00
Denda sebesar 1/1000 x 1.100.000.000,00 = Rp. 1.100.000,00/hari
Denda Dari Bagian Kontrak
Pemberlakuan pengenaan denda ini diterapkan apabila pada pekerjaan terdapat sebagian pekerjaan yang sudah selesai dan sebagian lainnya masih dalam progres penyelesaian.
Contoh pada pekerjaan pembangunan Gedung Kantor Administrasi Jakarta Barat yang jadwal pelaksanaannya dengan jangka waktu selama 150 hari kalender dimulai pada tanggal 20 Januari 2019 sampai dengan 18 Juni 2019 dengan nilai kontrak Rp. 20.000.000.000,00 (sebelum PPN), yang terdiri dari pekerjaan:
- Pembangunan gedung utama senilai Rp. 12.000.000.000,00
- Pembangunan mushola senilai Rp. 800.000.000,00
- Pembangunan gedung sayap barat senilai Rp. 7.200.000.000,00
Jika terjadi keterlambatan pada pembangunan mushola dan pembangunan gedung sayap barat, maka pengenaan denda keterlambatan dapat dikenakan pada nilai pekerjaan pembangunan yang mengalami keterlambatan saja.
Perhitungan denda menjadi = 1/1000 x Rp. 8.000.000.000,00 = Rp. 8.000.000,00 untuk setiap hari keterlambatan.
Nilai denda keterlambatan, apakah senilai kontrak atau bagian kontrak sudah seharusnya tertuang dalam rancangan kontrak yang disusun oleh PPK sebelum tender dilaksanakan. Nah, selanjutnya pada waktu melakukan validasi dan finalisasi rancangan kontrak PPK akan menetapkan kepastian pengenaan denda keterlambatan. Pada bagian kontrak mana pengenaan denda keterlambatan senilai bagian kontrak itu akan diterapkan yang mana akan disesuaikan dengan mengikuti metode kerja yang ditawarkan oleh penyedia dalam dokumen penawaran.
Batasan Denda Keterlambatan
Besarnya nilai denda keterlambatan tidak dibatasi dalam Perpres No. 16 tahun 2018, tergantung dari lamanya tambahan waktu yang dibutuhkan oleh Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai persetujuan dengan PPK. Oleh karena itulah apabila PPK dengan Penyedia sepakat untuk memperpanjang jangka waktu kontrak dengan melakukan addendum kontrak sesuai kesepakatan perpanjangan waktu pemberian kesempatan, maka kepada Penyedia diwajibkan memperbaharui jaminan pelaksanaan (apabila ada), dengan nilai sebesar nilai denda hari keterlambatan.
Misalkan kedua pihak sepakat untuk memperpanjang jadwal pelaksanaan pekerjaan selama 90 hari kalender, maka sebelum kontrak perpanjangan ditanda-tangani penyedia harus terlebih dahulu memperpanjang jangka waktu berlakunya jaminan pelaksanaan dengan menambah nilai jaminan pelaksanaan dari 5% kontrak menjadi 9% kontrak. Namun, apabila tambahan waktu penyelesaian pekerjaan nilai denda akumulasi kurang dari 5% kontrak, maka jaminan pelaksanaan tetap 5% hanya jangka waktu berlakunya jaminan pelaksanaan yang harus diperpanjang oleh penyedia dengan mengikuti tambahan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian pekerjaan.
Denda keterlambatan ini merupakan sanksi hukuman yang harus di bayar oleh pelaksana pekerjaan akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan, yang menyebabkan munculnya kerugian pengguna anggaran, karena nilai manfaat dari pekerjaan terlambat dinikmati oleh pengguna. Jika kontrak pekerjaan yang sifat pekerjaannya harus dilaksanakan secara bertahap, seperti pekerjaan penyediaan jasa cleaning service, pengadaan obat-obatan/alat kesehatan pakai habis dan sejenisnya, apabila penyedia terlambat memenuhi kewajiban, maka kepada penyedia dapat juga dikenakan denda keterlambatan.
Solusi
Pelanggaran yang timbul karena cidera janji (wanprestasi) atas perjanjian/kontrak antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa ini akan sangat minim terjadi jika dilakukan pengendalian kontrak dari awal kontrak dan dari waktu ke waktu. Sehingga ke depan tidak ada lagi atau paling tidak dapat diminimalisir terjadinya pengenaan denda keterlambatan pekerjaan karena pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu.
Minimnya penguasaan PPK dalam hal ilmu kontrak pengadaan barang/jasa inilah yang pada akhirnya berujung pada permasalahan hukum dengan para penegak hukum. Kelemahan ini pulalah yang kadang kala dimanfaatkan oleh sebagain oknum untuk mengambil keuntungan. Oleh karenanya PPK harus memiliki pengetahuan tentang kontrak PBJ dan memahami isi kontrak/perjanjian yang tertuang di dalam dokumen kontrak/ surat perjanjian untuk meminimalisir permasalahan dikemudian hari.
Sumber:https://www.pengadaan.web.id/2019/08/pengertian-kontrak.html