Kasus itu turut melibatkan eks Direktur Energi Primer Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2010 sekaligus mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2012, Nur Pamudji, sebagai tersangka.
Kasus tersebut bermula ketika Nur Pamudji bertemu dengan Presiden Direktur Trans-Pacific Petrochemical lndotama (TPPI), Honggo Wendratno, pada tahun 2010. Mereka bertemu sebelum lelang tender, membahas pengadaan HSD.
Baca juga: 18 Modus Operandi Korupsi di Sektor PBJP
KPPU Beberkan Modus Persekongkolan Mafia Tender Proyek Pemerintahan
"Tersangka NP selaku Direksi PT PLN mengadakan pertemuan dengan saudara HW selaku Presdir PT TPPI sebelum lelang dimulai untuk membahas pasokan kebutuhan PT PLN atas BBM jenis HSD dari PT TPPI," ujar Djoko Poerwanto selaku Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).
Djoko mengatakan, pertemuan tersebut membahas pengaturan PT TPPI sebagai pemenang lelang.
Kemudian, Pamudji diduga memerintahkan panitia pengadaan untuk memenangkan Tuban Konsorsium sebagai pemasok HSD ke PLTGU Tambak Lorok dan PLTGU Belawan.
Tuban Konsorsium tersebut dipimpin oleh PT TPPI.
"Kalau HW kan TPPI, dia kalau dilihat dari kemampuan tidak memenuhi syarat, tapi dia akan membentuk perusahaan-perusahaan lain yang dibentuk dalam Tuban Konsorsium. Jadi perusahaan-perusahaan lain itu kalau orang bilang hanya surat-suratnya, dokumen saja," kata Djoko.
Setelah itu, kedua pihak pun menandatangani kontrak yang berlangsung selama empat tahun. Kontrak empat tahun antara PT PLN dan Tuban Konsorsium untuk jangka waktu 10 Desember 2010 hingga 10 Desember 2014. Namun, Tuban Konsorsium hanya mampu memasok 11 bulan, alasannya, kata Djoko, karena mereka tidak mampu melanjutkan proses pemasokan.
Ketika dikonfirmasi, Djoko mengatakan, ketidaksanggupan PT TPPI bukan dari segi keuangan.
"Enggak (karena keuangan), memang gak sanggup," tutur dia.
Akibatnya, PLN mengalami kerugian karena harus membeli solar dari pihak lain dengan harga yang lebih mahal.
Kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dengan Nomor 9/LHP/XXI/02/2018 tanggal 2 Februari 2018, kerugian negara dalam perkara tersebut mencapai Rp188.745.051.310,72.
Penyitaan berupa dokumen dokumen dan uang dari PT TPPI yakni:
- 6 Maret 2018 sebesar, Rp140.715.151.524,79
- 24 Mei 2018, Rp8.784.695.405,06
- 24 mei 2018, Rp23.869.855.743,00
Nur Pamudji disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Saat ini berkas perkara kasus tersebut telah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Agung.
Sumber:https://www.pengadaan.web.id/2019/06/modus-korupsi-pengadaan-hsd.html